SURAT KABAR, CIMAHI – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menetapkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri menjadi 50 orang per kelas, memantik perdebatan di kalangan pendidik.
Di satu sisi, kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menekan angka putus sekolah. Namun, di sisi lain, sekolah-sekolah unggulan seperti SMAN 2 Cimahi menyoroti dampak serius terhadap kualitas pembelajaran dan kesiapan infrastruktur.
Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Sekolah (TPMPS) SMAN 2 Cimahi, Uus Suhara, mengakui adanya sisi positif dari kebijakan tersebut, terutama dalam menjawab persoalan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
“Yang pertama, kita sebagai lembaga secara umum melihat ada langkah positif. Di antaranya memang untuk tujuan utama mencegah anak putus sekolah. Sehingga dengan tujuan yang muda ini cukup bagus, untuk sementara kita respon,” ujar Uus saat dikonfirmasi, Sabtu, 19 Juli 2025.
Namun ia menegaskan, perlu adanya penyesuaian serius dalam metode pengajaran dan strategi manajemen kelas untuk tetap menjaga kualitas pendidikan, apalagi bagi sekolah dengan capaian prestasi tinggi.
“Karena semangat KDM itu bagus, tapi sekolah seperti kami yang sudah berpredikat unggul harus mempertahankan kualitas. Kita harus melihat SDM yang ada. Kita akan pilih guru-guru terbaik untuk menangani kelas X,” kata Uus.
Menurutnya, perbedaan antara mengelola kelas berisi 36 siswa dan 50 siswa sangat signifikan. Guru harus memiliki strategi khusus agar tetap bisa menghadirkan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan, meski dihadapkan pada keterbatasan ruang dan sumber daya.
“Strategi pengelolaan kelas itu harus benar-benar baik. Energi guru juga harus siap, karena akan sangat berbeda. Apalagi pendekatannya sekarang deep learning, yang menuntut pembelajaran mendalam dan interaktif,” jelasnya.
Untuk itu, SMAN 2 Cimahi telah merencanakan pelatihan khusus bagi guru melalui workshop pembelajaran deep learning yang difokuskan pada penanganan kelas besar. Workshop ini akan melibatkan instruktur profesional dan akademisi dari perguruan tinggi.
“Kita akan undang para ahli untuk membekali guru-guru. Harapannya, proses pembelajaran tetap berkualitas walau kelas penuh sesak,” terang Uus.
Namun, masalah tak berhenti di tenaga pengajar. Uus juga mengungkapkan kekhawatiran soal sarana dan prasarana sekolah yang belum mendukung. Ia menyebut kondisi kelas yang sempit dan panas dapat mengganggu konsentrasi siswa, terutama di jam-jam siang hari.
“Kondisi panas dan berdesakan akan merusak kondusifitas belajar. Apalagi kelas di sesi siang. Kalau AC tidak memungkinkan karena dananya besar, paling kita antisipasi dengan kipas angin tambahan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dana sekolah yang bersumber dari BOS dan BOPD sangat terbatas. Untuk penambahan kelas, pihak sekolah sementara ini akan memanfaatkan ruang laboratorium dan ruangan lain yang ada.
“Sambil kita menunggu tambahan dari luar, kita akan sesuaikan ruang belajar yang ada. Tapi ini tentu bukan solusi jangka panjang,” katanya.
Terkait bantuan dari pemerintah provinsi, Uus mengaku ada informasi bahwa kursi tambahan akan dikirim ke sekolah-sekolah. Namun, karena kebijakan ini berlaku serentak, pengiriman pun kemungkinan memakan waktu lama.
“Padahal anak-anak ini butuh segera dilayani. Kalau kelas 11 dan 12 sudah aman, tidak berubah jumlah dan posisi. Yang kelas 10 ini yang paling mendesak,” tegasnya.
Uus berharap ke depan ada dukungan dari forum orang tua siswa untuk membantu pendanaan penyesuaian ini, demi memastikan kualitas pembelajaran tetap terjaga.
“Sekolah tidak boleh menyerah. Dengan SMAN 2 Cimahi sudah melangkah lebih bagus, kita harus tetap menjaga standar. Minimal, kualitasnya tidak menurun dibanding saat siswa hanya 36 per kelas,” pungkasnya. (SAT)
0 Komentar