Mang Ujang Saip, Penjaga Aksara Sunda di Tengah Arus Globalisasi

Yudhistira Puranha Sakyatiri atau Mang Ujang Laip (65), seorang pegiat budaya asal Citeureup, Cimahi Utara. Dari rumahnya di Jalan Kolmas Sukaresmi, Mang Ujang tak henti menyalakan lentera warisan: mengajarkan dan menghidupkan kembali aksara Sunda.

SURAT KABAR CIMAHI – Di tengah arus globalisasi yang kian deras, aksara daerah di Indonesia tengah berada di ambang kepunahan. Dominasi huruf Latin dalam sistem pendidikan, media, dan komunikasi massa telah menggeser eksistensi aksara lokal seperti aksara Sunda, Jawa, dan Rejang ke pinggiran peradaban hanya hidup di ruang dokumentasi, museum, dan segelintir naskah akademik.

Padahal, aksara bukan hanya alat komunikasi, melainkan wujud peradaban dan jati diri bangsa. Aksara adalah penanda eksistensi budaya. Ketika ia dilupakan, maka satu generasi kehilangan keterhubungan dengan akar sejarahnya sendiri.

Kondisi inilah yang menjadi keresahan mendalam bagi Yudhistira Puranha Sakyatiri atau Mang Ujang Laip (65), seorang pegiat budaya asal Citeureup, Cimahi Utara. Dari rumahnya di Jalan Kolmas Sukaresmi, Mang Ujang tak henti menyalakan lentera warisan: mengajarkan dan menghidupkan kembali aksara Sunda.

"Yang dimaksud aksara daerah adalah sistem tulisan tradisional yang digunakan dalam berbagai bahasa daerah di Nusantara dan merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa dan identitas suatu daerah," ujar Mang Ujang saat ditemui, Jumat (11/7/25).

Baginya, aksara bukan sekadar simbol linguistik. Ia adalah wajah budaya, kebanggaan, dan martabat bangsa.

"Pertama, aksara tradisi akan langsung menunjuk kepada satu bangsa yang menjadi pemilik aksara tersebut," lanjutnya.

Mang Ujang mengingatkan, tak semua bangsa di dunia memiliki aksara sendiri. Maka bangsa yang memilikinya, wajib merawatnya. Bila tidak, hubungan dengan jati diri budaya akan terputus.

"Bahwa apabila ciri bangsa itu tidak dipelihara, maka lunturlah hubungan ciri dengan yang dicirikannya," tegasnya.

Ia menyoroti bahwa penghapusan aksara tradisional bukanlah penghilangan teknis semata. Kehilangan aksara adalah kehilangan memori kolektif. Aksara mengandung nilai pencapaian budaya, karena menulis adalah mencipta.

"Bahwa aksara adalah salah satu bentuk kemajuan budaya. Kemampuan menulis artinya kemampuan mencipta, dan menggunakan aksara jelas merupakan bukti pencapaian budaya dari bangsa yang memilikinya," terang Mang Ujang.

Lebih dari itu, aksara menjadi media yang merekam nilai, pandangan, dan peradaban suatu bangsa—sebagaimana yang tampak dalam prasasti, naskah kuno, dan artefak.

"Artefak-artefak sejarah itu mengandung nilai-nilai pokok yang menjadi kepribadian bangsa pemilik aksara tersebut," katanya.

Namun di lapangan, situasinya jauh dari harapan. Di Kota Cimahi, menurut Mang Ujang, minat terhadap aksara daerah makin memudar, terutama di kalangan generasi muda. Mereka lebih tertarik pada keterampilan praktis yang menjanjikan keuntungan ekonomi langsung. Sementara itu, literasi budaya dianggap beban yang tak relevan.

Lembaga budaya dan komunitas lokal yang seharusnya jadi penggerak, dinilainya belum optimal. Harus ada dorongan lebih kuat untuk menumbuhkan minat belajar aksara daerah.

"Oleh karena itu membudayakan minat belajar aksara daerah sangatlah penting untuk masyarakat guna mencapai masyarakat yang melek terhadap peninggalan leluhur bangsanya," tegasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa dominasi sistem aksara asing telah menggerus eksistensi aksara lama. Kosakata modern tak lagi diwakili oleh simbol lama. Akibatnya, makin sedikit orang Sunda yang mampu menulis dan membaca aksara Sunda.

"Akibat kuatnya dominasi sistem aksara dari kebudayaan baru di atas kebudayaan lama. Dominasi tersebut bukan hanya karena aksara baru digunakan secara mayoritas, tetapi juga karena keunggulannya yang jauh lebih tinggi daripada aksara lama," jelasnya.

Inilah yang memicu semangat Mang Ujang untuk membentuk komunitas Aksara Daerah di Cimahi. Namun ia sadar, pelestarian saja tak cukup. Aksara harus mampu beradaptasi, termasuk menembus ruang digital.

Ia menegaskan, pelestarian aksara harus ditopang buku bacaan, cerita rakyat, pelatihan masyarakat, serta integrasi dalam kurikulum sekolah. Bukan hanya simbol budaya masa lalu, aksara harus menjadi bagian dari narasi digital masa depan.

“Upaya ini bukan hanya pelestarian, melainkan juga strategi keberlanjutan agar aksara tak terjebak sebagai artefak masa lalu, tapi menjadi bagian dari narasi digital masa depan,” ujarnya.

Karena itu, Mang Ujang mendorong agar aksara daerah dijadikan pelajaran wajib di sekolah. Menurutnya, merawat bahasa tanpa aksara seperti merawat pohon tanpa akar.

“Aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘tidak musnah’. Ini maknanya dalam sekali. Ia menjadi jejak yang tak lekang waktu. Lewat aksara kita bisa membaca sejarah, bukan hanya mendengarnya,” tuturnya.

Ia membayangkan sebuah ruang belajar budaya di Cimahi, tempat anak-anak dan remaja bisa mengenal, belajar, dan mencintai aksara leluhur. Bukan ruang museum yang dingin, tetapi ruang hidup yang penuh semangat menggali dan menghidupkan jati diri.

“Di sana, aksara tak sekadar simbol linguistik, melainkan juga identitas yang layak dijaga. Melalui itu, ia ingin membantu pemerintah mewujudkan perlindungan dan pengembangan budaya secara konkret, bukan sekadar slogan dalam pidato seremonial,” ungkap Mang Ujang.

Ia juga berharap pengembangan teknologi perpustakaan digital bisa membuka akses publik terhadap naskah kuno. Menurutnya, jika naskah-naskah tersebut bisa diakses luas tanpa kehilangan keasliannya, maka masyarakat akan lebih mudah terhubung dengan akar sejarahnya.

“Harapan saya, masyarakat saat ini memahami fungsi naskah-naskah kuno bagi kelangsungan budaya bangsa dan turut serta mencerdaskan bangsa dalam hal budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah. Jika teknologi perpustakaan digital dikembangkan, akses terhadap manuskrip akan sangat mudah tanpa mengurangi keaslian sumber datanya,” katanya.

Bagi Mang Ujang, aksara adalah pondasi jati diri. Warisan budaya ini tak boleh hanya dikenang, tapi harus dihidupkan kembali. Sebab bangsa yang mampu merawat dan merevitalisasi nilai dasarnya, termasuk aksara, adalah bangsa yang bisa bertahan dan bersaing dalam dunia yang makin seragam.

“Kebanggaan terhadap aksara tradisional adalah bentuk kesadaran historis sekaligus penegasan eksistensi di hadapan dunia,” tandasnya. (SAT)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar