CIMAHI, SURAT KABAR – Maraknya kasus perundungan (bullying) dan kekerasan verbal maupun fisik di kalangan pelajar Generasi Z dan Alfa menjadi alarm serius dunia pendidikan Indonesia.
Pada momentum Hari Guru Nasional 2025, perhatian kembali tertuju pada urgensi memperkuat ekosistem sekolah yang aman, sehat, dan mendidik.
Di tengah tantangan tersebut, SMKN 3 Cimahi hadir dengan pendekatan berbeda melalui sosok Intan Gemah Purwanti, Koordinator Bimbingan Konseling (BK), yang sudah delapan tahun menjadi garda depan penyebaran pendidikan perdamaian dari Sabang sampai Merauke.
Intan bukan hanya berperan sebagai konselor di sekolah, tetapi juga aktif sebagai trainer di Yayasan Peace Generation, sebuah NGO berbasis Bandung yang fokus pada pendidikan anti kekerasan dan pembentukan karakter damai.
Sejak mengikuti pelatihan tersertifikasi pada 2017, Intan mulai terlibat dalam pelatihan lintas daerah untuk guru dan pelajar di berbagai wilayah Indonesia.
“Saya bergabung menjadi trainer di NGO tersebut tahun 2017 ketika saya mengikuti training tersertifikasi, untuk menjadi trainer,” ungkapnya di ruang kerja BK SMKN 3 Cimahi, Rabu (26/11/25).
Selama bertugas, Intan berkeliling ke berbagai kota seperti Medan, Makassar, Malang, Depok, hingga Goa bersama tim Peace Generation.
Setiap kunjungan melibatkan pelatihan kepada 50 guru dan 50 siswa sebagai upaya sistematis menekan kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Kurang lebih mungkin 8 tahun saya bergabung di NGO tersebut. Alhamdulillah bisa ke berbagai daerah,” ucapnya.
“Dari Medan sampai kemarin ke Makassar. Untuk berbagi materi-materi tentang bullying. Baik ke guru maupun ke siswa dan tentu termasuk salah satunya ke sekolah sendiri, SMKN 3 Cimahi,” tambahnya.
Di SMKN 3 Cimahi, pendidikan anti perundungan dan nilai-nilai perdamaian bahkan menjadi layanan wajib dalam kurikulum Bimbingan Konseling.
Pendekatan ini mengikuti metode Experiential Learning atau pembelajaran berbasis pengalaman, yang dalam Peace Generation dijalankan melalui formula ARKA: Aktivitas, Refleksi, Konsep, dan Aplikasi.
“Jadi pada awal sebelum peserta itu baik guru maupun siswa belajar tentang bullying. Mereka diajak dulu mengalami tentang bagaimana merasakan ketika mereka pernah menjadi korban, pernah menjadi pembuli juga atau menjadi penonton mungkin ya,” jelas Intan.
Setelah peserta merenungkan pengalaman tersebut, barulah mereka masuk ke tahap pemahaman lebih mendalam.
"Di konsep itu nanti mereka belajar memahami tentang lebih lanjut tentang buli itu atau tentang nilai-nilai perdamaian yang diajarkan dan disangkutkan dengan fakta-fakta yang ada, data-data yang ada,” ucapnya.
Tahap akhir adalah aplikasi, yaitu penerapan dalam kehidupan harian di sekolah maupun lingkungan masing-masing.
Namun perjalanan Intan ke berbagai wilayah Indonesia juga membuka mata akan perbedaan karakter pelajar.
"Tantangannya tentunya pasti ada kan. Jadi ketika di setiap kota itu kan punya karakteristik yang berbeda ya. Baik itu guru maupun siswa,” jelasnya.
Di Medan, misalnya, pendekatan harus lebih adaptif karena karakter siswanya lebih ekspresif.
"Jadi pendekatannya mungkin ya karena kelihatannya kan kalau orang dari Sumatera itu kan lebih keras gitu ya. Nah itu ternyata ya situasi karakteristik siswanya pun sama,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, Intan menyadari tidak ada satu pendekatan yang bisa dipakai mentah di semua daerah.
"Jadi ternyata si materi yang kami sampaikan itu butuh penyesuaian. Jadi setiap daerah tuh nggak kayak nggak bisa menggunakan langsung plug gitu ya sama gitu ya,” imbuhnya.
Selain topik bullying, modul Peace Generation juga memuat materi manajemen konflik, self-love, pengenalan diri, hingga 12 nilai dasar perdamaian. NGO ini juga mengembangkan board game bertema perdamaian, lingkungan, kebencanaan, hingga sekolah damai sebagai media pembelajaran yang lebih interaktif.
Di SMKN 3 Cimahi sendiri, nilai-nilai tersebut diintegrasikan dalam layanan BK bertajuk “Happy Tanpa Buli”.
Menjelang Hari Guru Nasional 2025, Intan menegaskan bahwa literasi anti-bullying tidak hanya penting bagi siswa, tetapi juga bagi guru.
“Sehingga jangan sampai guru itu malah membuli siswa gitu ya. Karena kan ketidaktahuannya itu jenis-jenis buli. Nah itu diterapkan bisa jadi seperti itu khawatirnya seperti itu,” katanya.
Oleh karena itu, tahun depan Intan merencanakan pelatihan untuk rekan-rekan guru di sekolah yang sama dengan metode ARKA. Program ini diharapkan menjadi jawaban atas kejenuhan siswa terhadap metode ceramah konvensional.
“Nah insya Allah mudah-mudahan ya. Metode ARKA ini diharapkan membuat siswa itu lebih menyenangi pelajaran yang mereka dapatkan. Karena kan anak-anak sekarang mereka bosan ya dengan metode ceramah,” pungkasnya. (SAT)




Posting Komentar
Posting Komentar