SURAT KABAR, CIMAHI - Persoalan kualitas air di Kota Cimahi kian darurat. Berdasarkan pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), kondisi air di wilayah ini masuk kategori tercemar berat akibat dominasi limbah komunal dan peternakan yang dibuang langsung ke aliran sungai.
Data Indeks Kualitas Air (IKA) memperlihatkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Pada 2022, Cimahi masih mencatat skor 34,58, lebih baik dibanding Kota Bekasi dengan 28,39.
Namun pada 2023, nilainya merosot drastis menjadi 22,5. Situasi semakin parah pada 2024, ketika IKA Cimahi anjlok ke angka 14,76 dengan tanda merah, mengukuhkan status tercemar berat.
Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan, menegaskan urgensi persoalan ini.
Menurutnya, jika tidak segera ditangani, Cimahi berpotensi menghadapi dampak kesehatan, krisis lingkungan, hingga terhambatnya keberlanjutan pembangunan kota.
“Polutan di air yang cukup signifikan dapat mengakibatkan keracunan, bahkan berpotensi menghilangkan nyawa bagi pihak terdampak. Lebih baik segera melakukan perubahan daripada menyesal kemudian,” ujarnya saat dihubungi via telefon, Selasa (23/9/2025).
Wahyu menyoroti lemahnya keseriusan pemerintah dalam mengendalikan pencemaran. Menurutnya, hal ini terlihat ketidakpedean Pemerintah Kota Cimahi menangani masalah tersebut.
"Daya tampung kota sudah jauh dilewati. Jika ini terus berlanjut, potensi konflik horizontal semakin tinggi,” jelasnya.
Ia menegaskan, kegagalan pemerintah dalam menjaga kualitas air akan berdampak sistemik.
“Pemerintah bisa dinilai gagal menjaga kesehatan masyarakat, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, serta berpotensi terjadinya krisis kepercayaan. Masyarakat bisa saja melakukan tindakan yang tidak pas dan tidak pantas,” tegasnya.
Wahyu menyebut langkah paling mendesak adalah menemukan sumber masalah dan segera mengobatinya.
Jika pencemaran berasal dari hulu sungai, maka kewenangan penanganan harus melibatkan pemerintah provinsi.
"Pemkot Cimahi tidak punya kewenangan penuh di hulu, tapi tetap menjadi pihak yang terkena dampak. Jika bakteri patogen sudah tinggi sejak di hulu, maka kontrol harus dilakukan. Bahkan, jika Pemkot berharap wilayah itu menjadi perluasan Cimahi, kendala ini harus segera dibenahi,” katanya.
Lebih lanjut, Wahyu memaparkan faktor penyebab utama menurunnya kualitas air di Cimahi.
Menurutnya, polutan berasal dari limbah padat maupun cair, ditambah mikroorganisme patogen yang jumlahnya semakin tinggi.
“Pendapat pribadi saya, kontribusi limbah domestik di Cimahi lebih tinggi dibanding limbah industri. Namun, limbah industri punya daya rusak yang jauh lebih besar,” terangnya.
Ia juga mengungkapkan adanya indikasi pencemaran serius di hulu sungai.
“Hulu sungai bahkan sudah tercemar bakteri patogen, limbah padat dan cair. Dugaan saya ini berasal dari limbah domestik, peternakan, dan pertanian. Tata kelola memang tidak akan maksimal, karena urusan polusi tidak bisa dibatasi oleh wilayah administrasi,” jelasnya.
Masalah kualitas air Cimahi bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi juga menyangkut kesehatan publik.
Dengan status tercemar berat, masyarakat dihadapkan pada risiko paparan penyakit seperti E. coli hingga keracunan akibat polutan berbahaya.
Jika tidak segera ada langkah intervensi terukur, Cimahi berpotensi menghadapi bencana ekologis yang mengganggu kehidupan sehari-hari, menekan ekonomi warga, sekaligus mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. (SAT)
0 Komentar