SPPG Citeureup 2 Cimahi Berdayakan Warga Lokal Sekaligus Kawal Keamanan Pangan Sekolah

SPPG Cimahi Berdayakan Warga Lokal Sekaligus Kawal Keamanan Pangan Sekolah

SURAT KABAR, CIMAHI - Kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang meluas di 17 provinsi kini memicu kecemasan publik. 

Program yang semula digadang sebagai solusi gizi anak sekolah justru menyisakan pertanyaan serius, seberapa aman rantai penyediaan makanan, dari dapur produksi hingga tersaji di piring siswa?

Kekhawatiran itu kian terasa di Cimahi. Salah satu penyedia, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Citeureup 2, kini menjadi sorotan karena harus memastikan ribuan porsi makanan yang mereka olah setiap hari benar-benar aman.

Kepala SPPG Citeureup 2, Ilham Ramadhan,  menegaskan, pengawasan kualitas bahan baku hingga distribusi merupakan titik paling krusial.

“Dari awal pemesanan, bahan baku kami ambil melalui koperasi yayasan. Setiap bahan yang datang selalu melewati proses quality control oleh ahli gizi. Jika tidak lolos, otomatis tidak diolah. Kami tidak bisa main-main, karena risikonya sangat besar untuk anak-anak,” ujar Ilham saat ditemui di SMKN 3 Cimahi, Selasa (23/9/2025).

Ilham menjelaskan, dapur mulai bekerja sejak sore hari. Persiapan dimulai pukul 17.00 dengan pembersihan buah, sayuran, hingga protein hewani dan nabati. 

Pukul 22.00 malam, proses pengolahan dimulai dengan briefing menu sekaligus pengecekan ulang bahan baku.

Jika ditemukan bahan tidak layak, Ilham menegaskan pihaknya akan mengambil langkah tegas.

“Kalau sayur cepat busuk atau protein hewani ada perubahan tekstur, langsung ditahan. Lebih baik menunda daripada dipaksakan dan berisiko keracunan,” tegasnya.

Tahap pemorsian berlangsung mulai pukul 02.00 hingga 10.00 pagi. Setiap porsi makanan melewati uji organoleptik, uji sampel, hingga pengecekan laboratorium internal. 

“Semua verifikasi dilakukan oleh ahli gizi. Tidak ada porsi yang boleh keluar tanpa pemeriksaan kelayakan konsumsi,” kata Ilham.

SPPG Citeureup mempekerjakan 51 orang tenaga kerja, mayoritas warga sekitar. Ilham menyebut, misi mereka bukan hanya menyediakan makanan bergizi, tetapi juga mendorong perputaran ekonomi lokal.

Namun, kasus keracunan yang marak membuat pengawasan semakin ketat. Bahkan, SPPG mulai memasang CCTV untuk memastikan dapur steril dari celah kontaminasi. 

“Kami juga mendorong pekerja menjalani medical check-up lengkap, bukan hanya surat sehat dari puskesmas,” ujarnya.

SPPG Citeureup mengelola Rp452,7 juta untuk satu periode (10 hari). Setiap porsi mendapat alokasi Rp15.000: Rp10.000 bahan baku, Rp3.000 operasional, dan Rp2.000 sewa peralatan.

Dengan anggaran sebesar itu, tekanan menjaga kualitas makanan kian tinggi. 

“Kalau amit-amit terjadi kasus luar biasa, prioritas kami menyelamatkan anak-anak dulu. Setelah itu baru uji laboratorium untuk mengetahui penyebab: apakah basi, alergi, atau zat beracun,” jelas Ilham.

Soal isu tray impor dari China yang disebut mengandung minyak babi, Ilham mengaku belum bisa memastikan. 

“Informasi itu masih simpang siur. Untuk memastikan, perlu ada uji laboratorium. Kami akan koordinasi dengan Badan Gizi Nasional,” tambahnya.

Program MBG sejatinya hadir untuk menjawab masalah gizi anak sekolah sekaligus memberdayakan masyarakat.

Namun, rentetan kasus keracunan dan temuan lapangan menegaskan masih banyak celah yang perlu dibenahi.

Ia menekankan, sekolah tetap melakukan langkah preventif agar siswa aman. 

“Sejak awal, kami selektif memilih penyedia. Dari sepuluh SPPG yang ada, kami pilih yang terdekat dengan standar lebih baik. Hingga hari ke-15, kami sudah empat kali melakukan kunjungan langsung,” ujarnya.

Dengan produksi ribuan porsi setiap hari, keamanan pangan bukan lagi sekadar soal dapur, tetapi soal masa depan anak-anak yang seharusnya dijaga.

Pihak sekolah pun ikut waspada. Wakil Kepala Hubungan Industri dan Masyarakat SMKN 3 Cimahi, Latifah Pujiastuti, mengungkapkan sekolah rutin melakukan inspeksi langsung ke dapur SPPG.

“Lokasinya dekat, hanya sekitar satu kilometer. Itu alasan kami memilih penyedia ini, supaya distribusi lebih cepat dan risiko kontaminasi lebih kecil,” jelas Latifah.

Sejak awal program berjalan, sekolah sudah empat kali melakukan kunjungan. Namun, Latifah menegaskan masih belum ada temuan serius.

“Pernah ada nasi berulat, brokoli berhama, sampai buah lengkeng busuk. Hal-hal kecil seperti ini jangan disepelekan, karena bisa memicu masalah besar,” katanya.

Latifah bahkan menilai pekerja dapur seharusnya menjalani pemeriksaan kesehatan setara industri perhotelan. 

"Tes paru-paru, hepatitis, sampai tes rektal. Karena mereka memasok ribuan porsi ke lima sekolah sekaligus, bayangkan dampaknya jika ada keracunan massal,” tegasnya. (SAT)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar