SURAT KABAR, CIMAHI – Larangan studi tour ke luar kota bagi jenjang PAUD, SD, dan SMP yang diberlakukan Pemerintah Kota Cimahi tak lantas membuat sekolah kehilangan akal. Di tengah pembatasan itu, SMPN 8 Kota Cimahi justru menjawabnya dengan pendekatan yang lebih membumi: menggandeng sejarah dan kearifan lokal lewat walking tour.
Konsep ini bukan sekadar pengganti jalan-jalan konvensional, melainkan upaya serius mengeksplorasi potensi sekitar yang selama ini luput dari perhatian. Alih-alih menempuh perjalanan jauh dengan bus pariwisata, para siswa diajak menapak tilas sejarah lokal dengan berjalan kaki ke situs-situs penting di Kota Cimahi.
“Ketika study tour dilarang, ya kita juga harus mengikuti kebijakan dari pemerintah, terutama dari komunitas kota yang turunannya ke Dinas Pendidikan,” kata Ayi Hidayat, Humas SMPN 8 Kota Cimahi saat ditemui, Rabu, 30 Juli 2025.
Alih-alih menganggapnya sebagai keterbatasan, sekolah melihat larangan itu sebagai peluang. Ayi menyebut, lingkungan sekitar sekolah menyimpan banyak cerita berharga yang layak dikenalkan kepada siswa. Salah satunya Kampung Adat Cirendeu, yang hanya berjarak sepelemparan batu dari sekolah.
“Kita lebih banyak mengarahkan siswa ke sana. Guru-guru mengajak mereka mengenal Kampung Adat Cirendeu. Selain itu, kami juga pernah ke Kerkop, LP Militer di Poncol, RS Dustira, dan beberapa tempat lainnya,” jelasnya.
Kegiatan ini tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari pembelajaran kontekstual yang terintegrasi dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), khususnya tema kearifan lokal.
“Materinya tentang budaya, jadi kami meminta sumber data langsung dari Kampung Adat Cirende. Ada integrasi pembelajaran di situ,” ujar Ayi.
Dari segi biaya, walking tour nyaris tanpa beban. Siswa tak perlu membayar ongkos transportasi maupun akomodasi.
“Kalau ke Cirende mah tinggal ngabring saja ke sana. Nggak ada ongkos. Walaupun ke Kerkop atau Bukit Merah juga, kalaupun ada biaya, nggak terlalu mahal,” tambahnya.
Meski beberapa siswa mengeluh lelah karena harus berjalan kaki, Ayi melihatnya sebagai tantangan sekaligus pembelajaran.
“Anak-anak kan, ya wajar kalau bilang capek. Tapi selain menggali kearifan lokal, kan ada nilai kesehatannya juga dari jalan kaki itu,” katanya.
Dukungan orang tua, menurut Ayi, sejauh ini juga mengalir tanpa hambatan. Terutama karena kegiatan ini jelas terhubung dengan kurikulum.
“Kalau orang tua sih, selama itu bagian dari kebijakan sekolah dan kurikulum, pasti mendukung. Sampai saat ini nggak ada yang kontra,” ucapnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Nana Suyatna, sebelumnya telah menegaskan larangan studi tour ke luar kota. Ia mendorong sekolah-sekolah untuk mengganti pola wisata edukatif dengan kegiatan walking tour ke lokasi-lokasi historis di Cimahi.
“Dari tahun sebelumnya juga kita sudah ada pembatasan dan larangan, dan didorong untuk anak-anak itu melakukan yang namanya walking tour, mengenal tempat-tempat yang bersejarah di Kota Cimahi, sehingga mereka semakin cinta dan bangga terhadap Kota Cimahi,” ujar Nana.
Beberapa titik yang kini menjadi destinasi edukatif antara lain RS Dustira, Gereja Ignatius, Masjid Abri, hingga kawasan Kerkop dan Poncol. Selain memberikan nilai edukatif, walking tour dinilai lebih ramah dari sisi ekonomi dan sosial karena tidak membebani orang tua siswa.
“Kami dorong kegiatan itu. Karena kalau studi tour, perlu BBM, snack, transportasi, dan lainnya. Sedangkan kalau walking tour, siswa bisa tetap belajar sambil jalan-jalan dengan pemandu lokal yang bisa menjelaskan langsung di lapangan,” ujarnya.
Kebijakan ini sejalan dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat yang menegaskan larangan studi tour komersial demi mencegah beban biaya berlebih pada siswa dan orang tua.
Di tengah berbagai respons publik yang muncul, sekolah seperti SMPN 8 Cimahi justru melihat peluang dalam pembatasan.
Mereka menjadikan walking tour bukan hanya solusi sementara, melainkan transformasi pembelajaran: menyentuhkan sejarah, budaya, dan kebanggaan lokal secara langsung kepada generasi muda Kota Cimahi. (SAT)
0 Komentar