SURAT KABAR,CIMAHI - Meski Kota Cimahi sempat dinyatakan darurat sampah, volume sampah harian per jiwa di kota ini justru tergolong rendah dibandingkan angka nasional.
Namun kondisi itu, menurut Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan tak seharusnya membuat masyarakat lengah.
Menurutnya, tanpa perubahan perilaku warga dalam mengelola sampah rumah tangga, ancaman darurat serupa bisa kembali datang kapan saja.
Ia menilai penting untuk memberikan apresiasi atas capaian Kota Cimahi dalam hal timbunan sampah.
“Terlepas dari masalah yang ada, kita harus apresiasi Kota Cimahi, bahwa rata-rata volume sampah harian yang dihasilkan per jiwa di Cimahi cukup rendah daripada rata-rata angka nasional,” kata Wahyu saat dikonfirmasi via whatsapp, Jum'at 23 Mei 2025?
Berdasarkan data yang dihimpunnya, dari produksi sampah sekitar 226 ton per hari dengan jumlah penduduk sekitar 580.000 jiwa, rata-rata timbunan sampah per jiwa di Cimahi hanya mencapai 0,38 kilogram.
Angka ini, menurut Wahyu, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 0,6 kilogram per jiwa per hari.
Bahkan, lanjut dia, dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Sampah tahun 2024, Menteri Lingkungan Hidup menyebut bahwa angka tersebut sebenarnya sudah bertengger di kisaran 0,8 hingga 0,9 kilogram per jiwa.
Meski demikian, Wahyu mengingatkan bahwa status darurat sampah adalah sesuatu yang bisa terulang sewaktu-waktu, terutama karena Cimahi tidak memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sendiri. “Darurat sampah adalah keniscayaan yang sewaktu-waktu bisa terulang.
Saat sebuah daerah otonomi tidak memiliki TPA sendiri, maka kuota mendistribusikan sampah domestik khususnya residu akan bergantung kepada kendali pihak lain yang menetapkan kebijakan,” ujarnya.
Ia menilai, darurat serupa bisa dihindari jika masyarakat Cimahi sudah memasuki kondisi ideal sebagaimana hukum Pareto.
“Darurat sampah boleh jadi tidak akan terulang jika sudah terjadi kondisi ideal hukum Pareto, di mana kelompok yang mampu dan mahir dalam pengelolaan sampah jumlahnya sudah mencapai 80 persen dari populasi,” ujar Wahyu.
Menurutnya, ketika kelompok 80 persen ini terbentuk, maka sisanya yang 20 persen, suka tidak suka akan terpengaruh dan terdorong untuk ikut melakukan upaya yang sama.
“Kondisi ideal adalah jika semua orang sudah mampu atau mahir dalam pengurangan dan penanganan sampah domestiknya,” katanya.
Wahyu menekankan bahwa pengelolaan sampah membutuhkan kedewasaan yang dibangun melalui proses.
Ia menyebut tahapan itu sebagai "Matamama", akronim dari Mau, Tahu, Mampu, Mahir. Namun, ia mengakui bahwa situasi saat ini masih jauh dari harapan.
“Situasi Kota Cimahi saat ini masih lebih banyak orang yang tidak mau tahu, tidak tahu, dan tidak mau melakukan pengolahan sampah,” ucapnya.
Ia pun menyerukan agar seluruh sumber daya manusia di Kota Cimahi bahu-membahu untuk mendorong kelompok masyarakat yang belum peduli menjadi kelompok yang mampu dan mahir.
Upaya ini, katanya, bisa dimulai dari pengetahuan dasar meminimalkan dimensi sampah sejak dari rumah tangga, yang secara otomatis akan mengurangi jumlah ritase pengangkutan, meski bobotnya tetap.
Selain itu, penting juga pemahaman pemilahan sampah secara umum, agar warga dapat memilah mana saja sampah yang masih memiliki nilai sumber daya.
“Bahan bekas pakai atau sisa tidak pantas masuk ke bak sampah, dan semestinya bisa digeser ke bank sampah,” ujar Wahyu.
Hal ini, menurutnya, berkelindan erat dengan kebutuhan membentuk Bank Sampah Unit (BSU) di setiap RW.
“Itu sesuai dengan amanah Menteri LH pada Rakornas Pengelolaan Sampah 2024,” tambahnya.
Wahyu juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah tak bisa dilepaskan dari pengelolaan limbah.
“Mengurus sampah berarti juga mengurus limbahnya. Dalam hal ini harus dilihat bahwa sampah dan limbah adalah satu kesatuan, ibarat dua sisi mata uang,” katanya.
Ia berharap, Cimahi bisa bergerak menuju tatanan masyarakat yang lebih bertanggung jawab terhadap sampahnya, bukan sekadar bergantung pada sistem pengangkutan dan pembuangan. (SAT)
0 Komentar