SURAT KABAR - Tur reuni Oasis Live '25 baru dimulai, tapi drama sudah duluan jalan. Setelah sekian lama jadi sekadar rumor dan harapan setengah mustahil, akhirnya Oasis benar-benar kembali ke panggung.
Tapi bukan Oasis namanya kalau semuanya berjalan mulus tanpa keributan. Belum genap seminggu sejak konser perdana di Cardiff, para penggemar sudah ramai memperdebatkan satu keputusan penting: pemilihan Richard Ashcroft sebagai penampil pembuka.
Richard Ashcroft, vokalis legendaris The Verve, adalah sosok yang enggak asing buat generasi Britpop. Lagu “Bitter Sweet Symphony” miliknya masih sering diputar hingga sekarang.
Tapi justru karena itu, banyak yang merasa Oasis kehilangan kesempatan buat ngasih sorotan ke band-band muda.
Di media sosial, banyak yang berharap band seperti Fontaines D.C., The Lathums, atau The Courteeners yang diberi kesempatan tampil, bukan musisi yang satu generasi dengan Noel dan Liam.
Mendapat kritik seperti ini, Liam Gallagher tidak tinggal diam. Lewat platform X (dulu Twitter), ia membalas komentar para penggemar dengan gaya ceplas-ceplos yang jadi ciri khasnya.
“Kepada semua yang mengeluh karena kami tidak mendukung band-band muda, ada tingkatan dalam permainan ini, dan saya khawatir 99 persen dari kalian salah besar,” tulis Liam.
Pernyataan itu langsung memecah opini: sebagian menganggapnya arogan, sebagian lagi membela dengan alasan Oasis memang berhak memilih siapa pun yang mereka mau.
Di sisi lain, Richard Ashcroft sendiri menyambut tawaran ini dengan penuh semangat. Dalam wawancaranya, ia bilang kalau sejak dulu dirinya adalah penggemar Oasis. “Saya sangat bersemangat ketika mendengar kabar kembalinya Oasis".
Lagu-lagu Noel dan energi murni Liam selalu menjadi inspirasi dalam menciptakan karya terbaik saya,” katanya. Di konser perdana di Cardiff, Ashcroft membuka dengan “Sonnet” dan menutup penampilannya dengan “Bitter Sweet Symphony” yang langsung membuat stadion larut dalam nostalgia.
Yang menarik, nama-nama yang sebelumnya digadang-gadang bakal tampil, seperti Fontaines D.C., ternyata memang tak tertarik. Dalam wawancara bersama Studio Brussel, Carlos O'Connell dan Conor Deegan III justru menyatakan kalau mereka tidak peduli dengan reuni Oasis.
“Jujur saja, saya tidak peduli,” kata O’Connell, sementara Deegan menambahkan bahwa industri musik terlalu sibuk dengan masa lalu dan melupakan inovasi.
Pernyataan itu justru menambah panas perdebatan. Apakah Oasis terlalu tenggelam dalam glorifikasi masa lalu? Atau justru mereka sedang memainkan kartu nostalgia dengan sangat cerdik?
Dari sisi penggemar lama, tentu saja keputusan menghadirkan Richard Ashcroft terasa seperti mimpi. Dua legenda Britpop satu panggung, memainkan lagu-lagu yang pernah jadi soundtrack hidup ribuan orang. Tapi dari sisi lain, terutama kalangan yang lebih muda, langkah ini bisa dianggap sebagai bentuk keengganan untuk membuka jalan bagi generasi baru.
Oasis memang punya posisi yang unik: mereka adalah simbol sebuah era, tapi juga harus menjawab tantangan zaman.
Di tengah gempuran musik baru, mereka membawa serta nama-nama lama dan di situlah letak pertanyaannya: apakah ini bentuk loyalitas terhadap akar musik mereka, atau sekadar langkah aman untuk menarik penonton yang sudah nyaman dengan masa lalu?
Satu hal yang enggak bisa dibantah, tur Oasis ini adalah salah satu momen paling ditunggu dalam industri musik tahun ini. Setelah Cardiff, tur akan berlanjut ke Heaton Park, Manchester, dan kemudian ke Stadion Wembley untuk tujuh malam berturut-turut.
Setelah itu, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia, Korea Selatan, dan Jepang.
Dengan segala drama, nostalgia, dan panggung megah yang mereka bawa, Oasis kembali bukan hanya sebagai band, tapi sebagai perdebatan tentang apa itu relevansi, sejarah, dan masa depan musik. Dan sejauh ini, mereka berhasil membuat semua mata kembali tertuju pada satu nama: Oasis. (SAT)
0 Komentar