CIMAHI,SURAT KABAR - Upaya memerangi polusi plastik kerap berhenti di permukaan. Sosialisasi dilakukan, komunitas dilibatkan, dan gerakan-gerakan hijau bermunculan.
Namun, di balik semangat #EndingPlasticPollution, ada lubang menganga dalam strategi pengelolaan plastik multilayer jenis sampah yang sulit terurai dan tidak mudah didaur ulang.
Ecobrick, salah satu pendekatan yang populer di kalangan aktivis lingkungan, belakangan kembali disorot. Kampanye untuk menyimpan limbah multilayer dalam botol plastik padat atau ecobrick kembali digaungkan melalui media sosial. Tapi apakah metode ini benar-benar menyelesaikan masalah?
“Plastik itu bukan material antibakteri,” ujar Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan saat di konfirmasi Surat Kabar, Rabu 2 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa plastik yang bersih dan kering memang cenderung minim bakteri, tetapi ketika basah dan kotor, plastik bisa menjadi media ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme.
"Persoalan bertambah pelik saat berbicara soal kemasan multilayer jenis plastik berlapis dengan bagian dalam dilapisi aluminium foil," ujar wahyu.
Ia menegaskan, kemasan ini dirancang steril agar makanan dan minuman yang disimpan tahan lama. Namun, pasca-konsumsi, kemasan ini justru menjadi ancaman baru jika tidak ditangani dengan tepat.
“Sampah multilayer itu harus dibersihkan dan dikeringkan, lalu dibalik. Bagian aluminiumnya diletakkan di luar sebelum dimasukkan ke dalam ecobrick,” katanya saat di konfirmasi Surat Kabar, Rabu 2 Juli 2025.
Langkah ini diklaim dapat menghambat tumbuhnya bakteri di dalam botol plastik tersebut. Namun, metode ini menuntut presisi dan konsistensi yang tinggi dari masyarakat. Kesalahan sedikit saja seperti plastik yang masih basah bisa mengubah ecobrick menjadi sarang bakteri.
Lebih lanjut, Wahyu mengatakan di sinilah letak masalah fundamental: ketergantungan pada perubahan perilaku individu sebagai satu-satunya benteng menghadapi krisis sampah.
“Cukuplah plastik multilayer yang dimasukkan ke dalam ecobrick. Jenis plastik lain bisa ditangani dengan pendekatan berbeda.” lanjut Wahyu.
Tapi pendekatan berbeda macam apa yang dimaksud? Tidak ada penjelasan lebih jauh. Tidak ada sistem pengumpulan nasional, tidak ada skema off-taker berskala besar yang transparan dan akuntabel.
Bahkan, kata Wahyu, untuk sistem insentif bagi warga yang menyetor ecobrick pun masih berjalan dalam ruang-ruang komunitas yang terbatas dan tidak merata.
Jika pun ecobrick sudah penuh, ia menyebut bisa langsung diserahkan ke off-taker yang bersedia menerima.
"Tapi siapa off-taker itu? Bagaimana akuntabilitas dan pengolahan lanjutannya? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang dijawab dengan gamblang dalam kampanye sosial yang viral," tegasnya.
Di balik niat baik dan semangat menyala, program pengumpulan multilayer via ecobrick masih menyimpan jebakan. Ia seolah menyederhanakan masalah struktural menjadi tanggung jawab individu.
"Sementara, produsen terus memproduksi kemasan sulit daur ulang tanpa mekanisme tanggung jawab extended producer responsibility (EPR) yang kuat," imbuh Wahyu.
Tanpa regulasi ketat, industri tetap melenggang. Dan masyarakat terus didorong untuk 'menyelesaikan' sendiri masalah yang bukan mereka mulai.
"Ecobrick hanyalah penampung. Bukan solusi. Plastik multilayer tetaplah warisan limbah berumur panjang yang tak akan lenyap hanya dengan semangat dan botol kosong," tandasnya. (SAT)
0 Komentar