Solusi Sampah Plastik Cimahi, Dorongan 20 Mesin Pirolisis dan Regulasi yang Masih Mengganjal

Solusi Sampah Plastik Cimahi, Dorongan 20 Mesin Pirolisis dan Regulasi yang Masih Mengganjal

SURAT KABAR, CIMAHI - Dengan timbulan sampah harian mencapai 270 ton dari lebih dari 580 ribu jiwa penduduk, Kota Cimahi menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan limbah. 

Namun, di balik tantangan itu, muncul secercah harapan dari data mengejutkan: rata-rata timbulan sampah warga Cimahi hanya 0,46 kilogram per jiwa per hari, jauh di bawah rata-rata nasional yang berada di angka 0,7 kilogram.

Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan, menyebut angka ini sebagai modal awal yang menjanjikan.

“Ini adalah start yang bagus. Tinggal bagaimana pengelolaan sampah di Cimahi, baik dalam urusan pengurangan maupun penanganannya,” ujar Wahyu saat di konfirmasi, Kamis (26/6/25).

Menurutnya, untuk pengurangan sampah, Cimahi bisa mencontoh Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhasil membangun jaringan bank sampah hingga tingkat Rukun Tetangga (RT), bukan lagi di tingkat Rukun Warga (RW). 

Sementara untuk penanganan, ia menekankan pentingnya optimalisasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), kelompok masyarakat, serta pengurus bank sampah agar dapat menyelesaikan persoalan sampah non-residu dan non-B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) secara mandiri di wilayah masing-masing.

Salah satu solusi konkret yang telah diterapkan adalah pemanfaatan mesin pirolisis di Kelurahan Melong. Menurut Wahyu, mesin tersebut mampu mengolah hingga 500 kilogram sampah plastik per hari. 

Wahyu menjelaskan, satu RW di Cimahi mampu menyetor 250-300 kilogram sampah plastik terpilah per minggu. Dengan kapasitas itu, satu mesin pirolisis bisa melayani kebutuhan 10 hingga 15 RW.

“Mengingat Cimahi memiliki lebih dari 300 RW, kami memperkirakan urusan sampah plastik bisa ditanggulangi dengan sekitar 20 fasilitas pirolisis yang tersebar di setiap kelurahan,” katanya.

Lebih lanjut Wahyu menerangkan, pendekatan ini bukan sekadar menekan timbulan plastik dari hulu, tetapi juga meminimalkan volume sampah setelah diolah. Empat jenis plastik yang diproses melalui mesin pirolisis menghasilkan produk turunan yang jauh lebih padat.

“Untuk bobot 50 kilogram saja, awalnya menempati volume 1,8 meter kubik. Setelah diproses, volumenya hanya 0,05 meter kubik. Terjadi penyusutan 97 persen,” paparnya.

Dengan strategi ini, Wahyu memperkirakan volume ritase (jumlah angkutan) sampah dari Cimahi ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) bisa lebih efisien.

“Jika yang keluar dari Cimahi hanya residu dan B3, tanpa plastik, kemungkinan besar jatah ritase yang diberikan masih mencukupi,” ujarnya.

Manfaat lain dari pendekatan ini adalah terbukanya potensi pendapatan harian bagi para pengelola, sehingga mereka bisa mandiri dan lebih sejahtera.

Namun, upaya memperluas model pengelolaan sampah plastik ini ke seluruh kelurahan di Cimahi terganjal regulasi. Penanganan sampah dengan pendekatan thermal seperti pirolisis, menurut Wahyu, masih diwajibkan untuk memiliki izin UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan).

“Tantangannya adalah regulasi dari pusat. Semua penanganan sampah thermal harus punya UKL-UPL,” kata dia.

Ia mendorong agar Pemerintah Kota Cimahi memberikan ruang dan dukungan lebih besar agar proses perizinan dapat dilaksanakan dengan cermat, seksama, dan biaya yang terjangkau bagi para pengelola.

“Kalau UKL-UPL sudah dimiliki, duplikasi model pengelolaan seperti ini bisa langsung dilakukan oleh pengelola lain di tiap kelurahan,” tutup Wahyu.

Di sisi lain, Ketua RW 36 Kelurahan Melong, Rosyid menyatakan bahwa keberadaan mesin pirolisis tidak menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitar.

“Kegiatan yang dilakukan sejauh ini tidak mengganggu lingkungan, justru berdampak pada keberhasilan penanganan sampah plastik,” katanya. (SAT)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar