Wakil Wali Kota Cimahi Ungkap Strategi Tangani 270 Ton Sampah Per Hari

Wakil Wali Kota Cimahi Ungkap Strategi Tangani 270 Ton Sampah Per Hari

SURAT KABAR, CIMAHI – Kota Cimahi tengah menghadapi darurat sampah. Lonjakan volume harian yang mencapai 270 ton tak hanya menyesakkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), tetapi juga menjadi bom waktu yang mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudhistira, mengakui betapa peliknya persoalan ini. Dalam kunjungannya ke Bank Sumber Daya Sampah Induk di Kelurahan Melong, Jumat (20/6/2025), Adhitia menyebut penanganan sampah kini menjadi isu yang mendesak dan kompleks.

“Masalah sampah ini sedang jadi tren hari ini, dan cukup membuat kami, khususnya Pak Wali dan saya, pusing bagaimana menyikapinya agar tertangani dengan baik di Kota Cimahi,” ujar Adhitia.

Adhitia mengungkapkan, produksi sampah di Cimahi saat ini berkisar antara 250 hingga 270 ton per hari. Angka itu, menurutnya, sebetulnya masih tergolong bisa dikelola dengan optimal jika sistem berjalan baik dan regulasi tidak saling tumpang tindih.

“Untuk ukuran Kota Cimahi, volume produksi harian sebesar itu harusnya bisa dikelola lebih mudah. Tapi masalahnya, kita ini sering tersendat oleh aturan yang tumpang tindih,” katanya.

Namun, masyarakat tetap menuntut penyelesaian instan. “Mau nggak mau, masyarakat maunya sampah beres. Pokoknya beres,” tegasnya.

Pemerintah Kota Cimahi telah memberlakukan sistem pemilahan sampah berdasarkan jenis, seperti sampah organik yang diangkut setiap Senin dan Kamis. Namun, implementasi di lapangan kerap tidak sinkron.

“Misalnya, Pemkot menetapkan Senin dan Kamis untuk sampah organik, tapi di lapangan bisa beda-beda. Akhirnya jadwal pengangkutan tidak optimal, masyarakat terpaksa pisahkan sampah, tapi tidak terangkut. Ini yang jadi keluhan,” ujar Adhitia.

Adhitia menekankan perlunya konsensus internal di masyarakat, misalnya melalui sistem prelek di tingkat RT, RW, Pokmas, atau KSM. Menurutnya, persoalan sampah tak hanya teknis, tapi juga soal budaya.

“Orang tua kita dulu gali lubang, sampah dikubur, dibakar, jadi kompos. Beres. Nggak ada TBC atau gangguan paru-paru. Tapi begitu masuk manajemen modern, jadi rumit,” kata dia.

Ia bahkan menyinggung tragedi Leuwigajah, di mana tumpukan sampah longsor dan menewaskan ratusan orang.

“Sampah harus selesai di wilayah. Di masing-masing wilayah harus beres,” tandasnya.

Sebagai langkah konkret, ia menargetkan adanya TPA mini di setiap kelurahan, yang dilengkapi fasilitas sortir, pengelolaan organik, hingga teknologi pembakaran atau generator untuk residu.

“Harus lengkap. Di setiap wilayah harus rapi dan punya fasilitas pengelolaan,” katanya.

Keberadaan Bank Sampah seperti di Melong dinilainya sangat membantu menyelesaikan sebagian besar persoalan, terutama karena keterbatasan lahan di Cimahi.

“Kita nggak punya cukup lahan untuk bikin TPA di setiap wilayah. Ini sangat membantu,” ujar Adhitia.

Selain itu, Adhitia menyebut dukungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui pemberian enam alat insinerator patut diapresiasi, meski tetap perlu dikaji regulasinya.

“Kalau terlalu kaku soal aturan, ya nggak akan beres. Tapi juga tetap harus ikuti aturan main, apalagi kalau sudah masuk wilayah barang khusus,” tegasnya.

Ia berharap ada fleksibilitas dalam kebijakan untuk memberi ruang inovasi bagi para penggiat pengelolaan sampah.

“Kalau semua dilarang, ya repot. Masalah sampah nggak akan selesai-selesai,” tambahnya.

Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan, menilai solusi konkret bisa dimulai dari fasilitas pengolahan di tingkat kelurahan.

“Mengingat ada lebih dari 300 RW di Cimahi, kami menduga pengelolaan bisa ditangani dengan 20 fasilitas seperti ini yang tersebar merata,” ujar Wahyu, saat dikonfirmasi melalui WhatsApp, Kamis (26/6/2025).

Wahyu menjelaskan, pihaknya memproses empat jenis plastik menjadi produk turunan yang mampu mengurangi volume secara signifikan. Dari 50 kg plastik yang sebelumnya memiliki volume 1,8 m³, setelah diproses hanya menjadi 0,05 m³ penyusutan hingga 97%.

“Kalau yang keluar dari Cimahi hanya residu dan B3, tanpa plastik, maka ritase angkutan yang tersedia bisa tetap mencukupi,” ujarnya.

Ia pun mendorong agar sistem ini diterapkan luas di seluruh kelurahan. Namun, tantangan terbesarnya tetap soal regulasi.

“Pendekatan thermal seperti insinerator itu wajib punya izin UKL-UPL. Pemkot harus memberi ruang dan mempermudah proses perizinan ini,” ujarnya.

Menurut Wahyu, sistem ini bukan hanya menyelesaikan persoalan sampah, tetapi juga membuka peluang ekonomi lokal.

“Dengan begitu, layanan ini bisa mandiri dan mensejahterakan sumber daya manusianya,” pungkasnya. (SAT)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar