SURAT KABAR, CIMAHI - Kualitas air di seluruh sungai utama di Kota Cimahi kini dinyatakan tidak sehat. Temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tersebut mengungkapkan sebagian besar pencemaran bersumber dari limbah domestik atau rumah tangga, bukan lagi dari industri semata.
Fakta ini menandakan situasi lingkungan yang kian genting di Kota Cimahi dengan kepadatan penduduk tinggi ini.
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menilai penurunan kualitas air di Cimahi tidak bisa disederhanakan hanya karena limbah rumah tangga.
Ia menegaskan, diperlukan transparansi penuh dari KLH untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pencemaran dari limbah rumah tangga, industri, hingga medis.
“Faktanya, masih banyak industri dan limbah medis yang membuang limbahnya langsung ke sungai. Temuan KLH seharusnya disampaikan secara terbuka, termasuk data detail tingkat pencemarannya,” ujar Iwang saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Selasa (7/10/25).
Menyoal sulitnya pengendalian limbah komunal, Iwang menilai akar persoalan terletak pada gagalnya pemerintah menyediakan tempat pemilahan sampah sementara.
Akibatnya, masyarakat tidak memiliki alternatif selain membuang sampah langsung ke sungai.
“Ketika sebagian besar warga menjadikan sungai sebagai tempat membuang sampah, itu menunjukkan lemahnya kesadaran masyarakat yang justru dipicu oleh kegagalan pemerintah menyediakan fasilitas pemilahan sampah,” tegasnya.
Selain itu, gagalnya penegakan hukum terhadap industri yang masih membuang limbah secara terbuka menjadi faktor kedua yang memperparah situasi.
“Tanpa sanksi tegas, kualitas air sungai akan terus memburuk. Ditambah lagi lemahnya sosialisasi, edukasi, dan pengawasan dari pemerintah,” imbuhnya.
Berdasarkan data dari DPKP Cimahi, menunjukkan lebih dari 20 ribu rumah di Cimahi belum memiliki septic tank. Kondisi ini, menurut WALHI, memperburuk pencemaran air permukaan dan tanah.
“Yang paling utama adalah sejauh mana pemerintah Cimahi dapat melakukan edukasi dan sosialisasi secara konsisten, selebihnya bisa mengindentifikasi secara benar apakah semua penduduk tersebut tidak memiliki septic tank atau hanya sebagian saja,” jelas Iwang.
Ia menekankan, pembangunan sistem sanitasi terpadu sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah daerah, bukan sekadar wacana yang terhambat alasan klasik seperti keterbatasan anggaran.
Menariknya, Iwang mencatat bahwa pola pencemaran di Cimahi kini bergeser. Jika dulu didominasi oleh limbah industri, kini justru limbah domestik menjadi ancaman utama.
“Kesadaran masyarakat sangat penting, tetapi lemahnya pelayanan pemerintah terhadap pengelolaan sampah rumah tangga memperburuk situasi. Regulasi harus jelas, termasuk penertiban pipa-pipa yang mengalirkan limbah septic tank langsung ke sungai,” ungkapnya.
Iwang menegaskan, kerusakan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari persoalan kesehatan publik.
Ia menilai peningkatan kasus stunting di Cimahi berhubungan langsung dengan kualitas lingkungan yang buruk dan pola konsumsi masyarakat yang tidak sehat.
“Kalau kualitas lingkungan menurun, otomatis risiko stunting meningkat. Apalagi bahan makanan masyarakat sekarang banyak yang tercemar bahan kimia,” katanya.
“Jadi, stunting tidak hanya disebabkan gizi buruk, tetapi juga karena lingkungan dan makanan yang tidak lagi sehat," sambungnya.
WALHI memperingatkan bahwa jika situasi ini terus dibiarkan, kualitas hidup masyarakat Cimahi akan terancam. Pencemaran air bukan hanya persoalan ekologis, tetapi juga menyangkut hak dasar warga atas lingkungan yang bersih dan sehat.
“Kalau kondisi ini dibiarkan, ancamannya jelas, kualitas hidup masyarakat akan menurun. Padahal hak atas lingkungan yang baik dan bersih adalah hak semua orang yang seharusnya dijamin oleh pemerintah,” tegas Iwang menutup pernyataannya. (SAT)
0 Komentar