Iklan

Iklan

Wisata Orang Waras: Panggung Perlawanan dan Kesadaran Sosial dari Methosa

Posting Komentar
Press Conference Wisata Orang Waras (WOW)

BANDUNG, SURAT KABAR - Di tengah keterbatasan ruang berekspresi yang kian menyesakkan bagi para seniman, grup musik Methosa justru melahirkan gerakan kultural yang unik dan sarat makna, Wisata Orang Waras.

Bukan sekadar tur musik, melainkan perjalanan spiritual dan sosial yang lahir dari bentuk perlawanan terhadap pembungkaman karya seni.

Vokalis Methosa, Mansen Munthe, menceritakan embrio gerakan ini muncul dari kegelisahan mendalam atas pelarangan lagu mereka berjudul 'Bangun Orang Waras'. 

Lagu tersebut dinilai terlalu keras dan dianggap menyindir rezim yang tengah berkuasa. 

“Awalnya lagu kami dicekal oleh media, radio-radio menolak memutarkan, bahkan televisi pun enggan menayangkannya. Alasannya, karena disinyalir lagu itu menyindir penguasa,” ujar Mansen dalam wawancara eksklusif, Sabtu (8/11/25).

Peristiwa itu menjadi titik balik bagi Methosa untuk merenungkan posisi seniman dalam masyarakat yang kian mengekang kebebasan berekspresi. 

“Kami mulai bertanya-tanya, kenapa ruang gerak kami sebagai seniman semakin sempit? Bukankah seni seharusnya menjadi ruang ekspresi yang paling bebas?” lanjut Mansen dengan nada reflektif. 

Dari situ, lahirlah inisiatif untuk membuat ‘Wisata Orang Waras’, sebuah wadah yang menjembatani seni, kesadaran sosial, dan solidaritas komunitas.

Gerakan ini tak lahir dari panggung besar atau sponsor korporat, melainkan dari semangat gotong royong para penggemar Methosa, yang mereka sebut Methozen singkatan dari Methosa Citizen. 

"Kami tidak menyebut mereka fanbase, tapi personel kelima dari Methosa. Mereka bukan sekadar pendukung, mereka adalah bagian dari tubuh kami sendiri,” ujar Mansen.

Salah satu figur sentral dalam pergerakan ini adalah Khoirul Anam, atau akrab disapa Cak Anam, seorang Methozen asal Surabaya. 

“Dia datang jauh-jauh dari Surabaya, selalu hadir di setiap acara Wisata Orang Waras. Surabaya sudah kami ‘waraskan’ berkat teman-teman buruh yang berdiskusi bersama kami,” kata Mansen. 

Melalui jaringan Cak Anam, Methosa berinteraksi langsung dengan kalangan buruh industri, mendengarkan keluh kesah mereka, dan bahkan ikut turun ke jalan dalam aksi solidaritas seperti demonstrasi menentang kebijakan Pakerin.

Mansen menegaskan bahwa Wisata Orang Waras bukan proyek komersial, melainkan gerakan kolektif yang lahir dari partisipasi Methozen di berbagai kota. 

“Kami tidak dibayar sepeser pun. Semua kegiatan, mulai dari tempat, logistik, sampai pelaksanaan acara, dilakukan oleh Methozen dengan sukarela. Kami hanya datang, mewakafkan waktu dan tenaga untuk menyuarakan kegelisahan bersama lewat musik,” ujarnya.

Di Bandung, edisi terbaru Wisata Orang Waras menghadirkan kolaborasi lintas disiplin. 

Methosa menggandeng Kang Ojel, seorang penulis dan peneliti yang tengah mendalami studi tentang peradaban Sungai Citarum, serta Kang Iwang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). 

“Kami memang berpartner dengan Walhi, karena Methosa menjadi satu-satunya musisi yang ikut menyusun Hak Naskah Hari Keadilan Ekologis yang disahkan di Sumba pada 20 September lalu,” jelas Mansen.

Selain itu, Methosa juga berkolaborasi dengan Kang Toteng, tokoh yang mereka kenal saat melakukan kegiatan serupa di Surabaya. 

Kolaborasi ini menegaskan bahwa Wisata Orang Waras bukan hanya pergelaran musik, melainkan gerakan sosial yang menyatukan aktivis, buruh, akademisi, dan seniman dalam satu ruang kesadaran bersama.

Melalui gerakan ini, Methosa berupaya membangunkan kembali nalar publik tentang pentingnya kewarasan sosial di tengah arus informasi yang membutakan nurani dan politik yang membatasi ekspresi. 

“Kami tidak ingin hanya bernyanyi. Kami ingin mengingatkan, bahwa kewarasan itu perlu diperjuangkan. Bahwa menjadi waras di tengah dunia yang gila adalah bentuk perlawanan itu sendiri,” tutup Mansen.

Gerakan Wisata Orang Waras kini menjelma menjadi panggung alternatif perlawanan kultural, tempat suara-suara yang kerap dibungkam bisa kembali bergema. 

Bagi Methosa, kewarasan bukan sekadar kondisi mental, melainkan sikap sadar dan kritis terhadap realitas sosial yang terus bergeser dan melalui musik, mereka mengajak publik untuk terus menjaga nurani agar tetap “waras” di tengah kebisingan dunia. (SAT)

Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar