CIMAHI, SURAT KABAR (FEATURE) – Cuaca ekstrem yang melanda Kota Cimahi dalam beberapa pekan terakhir bukan sekadar kabar cuaca, tetapi sinyal bahaya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Cimahi mencatat wilayah ini telah memasuki masa geo hidrometeorologi, periode di mana intensitas hujan tinggi, angin kencang, dan risiko banjir hingga longsor meningkat signifikan.
Namun di tengah potensi bencana itu, muncul wajah muda yang menyalakan harapan.
Dialah Cathleya Birqi Sabrina, siswi kelas X SMKN 1 Cimahi, anggota Pramuka Peduli Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Kota Cimahi.
Di usianya yang baru 16 tahun, Cathleya memilih jalan yang tidak biasa, menjadi bagian dari barisan kemanusiaan yang siap turun langsung membantu ketika bencana datang.
Ditemui usai apel kesiapsiagaan BPBD di Lapangan Pemerintah Kota Cimahi, Kamis, 6 November 2025, Cathleya berbicara dengan nada tenang namun berisi keyakinan.
“Alasan saya ikut kegiatan ini karena saya merasa, walaupun perempuan, tidak menutup kemungkinan untuk ikut turun langsung membantu. Apalagi saya masih muda, belum punya tanggung jawab berat. Jadi kalau punya jiwa sosial tinggi, rasanya mengganggu kalau cuma diam saja,” ujarnya sambil tersenyum saat diwawancarai Surat Kabar, Kamis 6 November 2025.
Bagi Cathleya, membantu sesama bukan sekadar kegiatan ekstrakurikuler. Itu adalah panggilan hati.
“Kalau bisa turun langsung ke masyarakat, rasanya lebih tenang. Apalagi terhadap orang di sekitar kita,” katanya lirih, matanya menatap jauh seakan mengingat setiap momen kecil saat menolong orang lain.
Remaja ini baru resmi bergabung di Pramuka Peduli pada awal 2025. Namun semangatnya seolah tumbuh lebih lama dari waktu yang tercatat.
“Baru jadi anggota aktifnya itu awal tahun ini,” ujarnya singkat.
Cathleya bersyukur, dukungan keluarga mengalir tanpa ragu.
“Alhamdulillah orang tua mendukung. Ayah juga dulu pernah gabung di UNICEF, jadi sejalur sama orang tua. Mereka percaya karena setiap kegiatan selalu dalam pantauan kakak pembina, dan selalu ada komunikasi ke rumah,” jelasnya.
Dukungan moral itu menjadi bekal penting menghadapi kerasnya medan tugas yang kadang menantang fisik dan mental. Ia mengakui, menjadi bagian dari Pramuka Peduli bukan hal sepele.
“Seleksinya itu lebih ke niat dan seleksi alam. Karena ini bukan sekadar kegiatan seru-seruan. Setelah dilantik, kita akan menghadapi situasi di mana tanggung jawabnya bukan cuma nyawa sendiri, tapi juga nyawa orang lain,” ujarnya tegas.
Cathleya mengenang masa seleksi selama tiga hari dua malam, yang baginya menjadi titik balik kedewasaan.
“Kita jalan tanpa handphone, tanpa alat komunikasi pribadi. Satu tim terdiri dari 12 orang, dan cuma ada dua HT buat koordinasi. Kita harus mencari jalan sendiri pakai peta dan kompas, berdasarkan materi yang sudah dipelajari sebelumnya,” kenangnya.
Menurutnya, momen itu bukan hanya latihan, tapi pembentukan karakter.
“Dari situ kita belajar bagaimana teori bisa diterapkan di lapangan. Itu benar-benar latihan mental dan fisik,” katanya mantap.
Di akhir perbincangan, Cathleya menutup dengan kalimat yang pelan tapi penuh daya.
“Buat saya, ini bukan cuma kegiatan. Ini panggilan hati. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?," cetusnya.
Kisah Cathleya juga tidak lepas dari sosok para pembina Pramuka Peduli Kwarcab Cimahi, yang menjadi tulang punggung pendidikan karakter dan kesiapsiagaan bencana.
Sabtari Deka (27), staf bidang Pengabdian Masyarakat (Abdimas), menegaskan pentingnya mental baja bagi para anggota muda.
“Kalau untuk membina adik-adik, terutama perempuan, saya selalu tegaskan bahwa mereka harus punya mental kuat. Karena perempuan itu biasanya lebih sensitif. Tapi dalam penanggulangan bencana, kita harus sigap menghadapi situasi apa pun,” ujarnya dengan nada lembut namun tegas.
Sabtari menambahkan, prinsip dasar dalam pelatihan adalah kesiapan diri.
“Kalau tidak sanggup, lebih baik mundur dari awal daripada nanti dipaksakan di lapangan. Kita sering bilang, jangan sampai tim rescue justru harus di-rescue,” ujarnya tersenyum tipis.
Menurutnya, anggota perempuan sering bertugas di bagian dapur umum dan logistik posisi yang krusial bagi keberlangsungan operasi kemanusiaan.
“Tapi bukan berarti peran mereka kecil. Justru tanpa logistik dan dapur, tim di lapangan tidak bisa bertahan lama,” jelasnya.
Menurut Sabtari, salah satu pembina lainnya, menyoroti tantangan membina generasi digital.
“Anak zaman sekarang itu beda. Mereka tumbuh dengan gadget, jadi kita enggak bisa pakai cara didikan lama,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya pendekatan yang adaptif.
“Kita harus masuk ke dunia mereka dulu, baru mereka mau mendengarkan. Kalau langsung dilarang tanpa pendekatan, mereka malah menutup diri,” katanya.
Pendekatan humanis seperti itu membuat hubungan antara pembina dan anggota lebih erat, menumbuhkan rasa saling percaya pondasi penting dalam kerja-kerja kebencanaan.
Pramuka Peduli Kwarcab Cimahi sendiri telah menorehkan banyak jejak dalam berbagai operasi kemanusiaan, dari gempa Lombok, Palu, dan Cianjur, hingga longsor di Sumedang serta bencana di Cipongkor dan Kertasari.
“Bahkan di beberapa lokasi, relawan dari Cimahi ikut langsung di dapur umum dan evakuasi korban,” kata Sandrina dengan bangga.
Kini, Pramuka Peduli Cimahi memiliki 61 anggota aktif dari berbagai sekolah menengah. Mereka rutin berlatih penanganan bencana, pertolongan pertama, manajemen logistik, hingga komunikasi lapangan.
Di tengah ancaman cuaca ekstrem dan potensi bencana yang kian sering terjadi, sosok-sosok muda seperti Cathleya menjadi penanda bahwa semangat kemanusiaan tak mengenal usia.
Mereka adalah generasi yang tidak hanya tangguh menghadapi alam, tetapi juga lembut menjaga sesama mewujudkan arti sejati dari kepanduan yang peduli. (SAT)




Posting Komentar
Posting Komentar