SURAT KABAR - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menapaki jejak panjang penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di Bank Rakyat Indonesia (BRI) periode 2020–2024.
Kasus yang menyeret sejumlah nama penting dalam tubuh BRI ini, kini memasuki babak baru, pemeriksaan terhadap pihak swasta yang diduga menjadi simpul dari praktik kolusi di balik proyek bernilai miliaran rupiah tersebut.
Pada Selasa, 14 Oktober 2025, tiga saksi dari unsur swasta kembali dipanggil ke Gedung Merah Putih KPK. Mereka adalah Direktur PT Woro Adhi Persada, Arief Saptahary; perwakilan PT Allana Mas Perkasa, Ario Perdana; dan karyawan swasta, Vera Liliana. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, namun menandai kesinambungan langkah hukum setelah sehari sebelumnya, Senin, 13 Oktober 2025, KPK juga memeriksa Direktur PT Helios Informatika Nusantara, Royani.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan resminya, Selasa, 14 Oktober 2025.
Penyidikan ini bukan sekadar menggali peran administratif dalam pengadaan barang. Ia menyibak relasi kuasa, kepentingan, dan kelicikan yang berkelindan di tubuh salah satu bank terbesar milik negara.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan empat tersangka: mantan Wakil Direktur Utama BRI, Catur Budi Harto; SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI, Dedi Sunardi; Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi, Rudy Suprayudi Kartadidjaja; serta Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI sekaligus mantan Direktur Utama Allo Bank, Indra Utoyo.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, membeberkan bahwa Direktur PT Pasific Cipta Solusi periode 2019–2024, Elvizar, memiliki peran sentral dalam perkara ini. Ia disebut bersekongkol dengan Catur Budi Harto untuk mengatur jalannya proyek pengadaan EDC BRI sejak awal, bahkan sebelum lelang dimulai.
“Keduanya berulang kali bertemu pada 2019 sebelum proyek dimulai,” ujar Asep.
Pertemuan-pertemuan itu bukan sekadar diskusi bisnis. Dari sanalah muncul kesepakatan bahwa Elvizar dan perusahaannya akan menjadi vendor utama dengan menggandeng PT Bringin Inti Teknologi milik Rudy Suprayudi Kartadidjaja. Dalam rancangan kolusi itu, Elvizar membawa mesin EDC bermerek Sunmi P1 4G, sementara Rudy menawarkan Verifone.
“Ini yang tidak boleh, bertemu dengan calon penyedia barang. Seharusnya melalui proses lelang,” tegas Asep, menekankan prinsip dasar transparansi yang dilanggar.
Selanjutnya, Indra Utoyo selaku Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI, disebut memerintahkan dua pejabat di bawahnya Wakil Kepala Divisi Perencanaan Danar Widyantoro dan Wakil Kepala Divisi Pengembangan Fajar Ujian untuk melakukan proof of concept (POC) atau uji kelayakan teknis terhadap dua merek EDC tersebut. Tujuannya: memastikan kompatibilitas dengan sistem BRILink Mobile. Namun, di balik prosedur teknis itu, tersimpan ketimpangan yang mencolok.
Uji POC hanya dilakukan terhadap dua merek, Sunmi P1 4G dan Verifone, tanpa membuka kesempatan bagi vendor lain seperti Nira, Ingenico, atau Pax yang juga menawarkan produk serupa. Proses pengujian itu pun berlangsung tanpa publikasi terbuka, menutup rapat ruang kompetisi yang semestinya menjadi roh dari setiap proses pengadaan.
Tak berhenti di sana, atas permintaan Elvizar, Catur Budi Harto disebut memerintahkan Dedi Sunardi—SEVP Manajemen Aset dan Pengadaan BRI untuk bertemu langsung dengan Elvizar dan Rudy.
Pertemuan tersebut melahirkan perubahan penting dalam dokumen Terms of Reference (TOR) Annex II. Mereka menambahkan syarat baru: uji teknis maksimal satu hingga dua bulan. Sebuah tambahan kecil di atas kertas, tapi berpotensi besar mengunci spesifikasi teknis hanya untuk dua vendor tersebut.
Praktik manipulatif ini menggambarkan bagaimana ruang abu-abu dalam pengadaan barang bisa disulap menjadi ruang aman bagi kepentingan tertentu. Dalam logika birokrasi, perubahan TOR adalah mekanisme formal. Namun dalam konteks kasus ini, ia menjadi alat pembuka jalan bagi pengaturan tender menggiring hasil akhir sebelum kompetisi dimulai.
Kini, penyidikan KPK tidak hanya mencari siapa yang salah, tetapi juga menelisik bagaimana sistem yang seharusnya menjamin keadilan dan transparansi justru disalahgunakan oleh mereka yang mengaturnya.
Pengadaan mesin EDC, yang semestinya berfungsi mempercepat transaksi masyarakat, berubah menjadi simbol dari korupsi yang justru memperlambat kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan negara.
Di ruang pemeriksaan Gedung Merah Putih itu, satu per satu saksi dipanggil. Tapi di luar tembok KPK, publik bertanya-tanya apakah kasus ini akan berhenti di meja penyidikan, atau berlanjut menjadi pintu koreksi besar terhadap tata kelola BUMN yang selama ini dikelilingi oleh bayang-bayang konflik kepentingan? (SAT)


0 Komentar