Joget di Lampu Merah Bandung, Antara Hiburan dan Krisis Moral Publik

Fenomena pria joget di lampu merah Cibaduyut, Bandung, viral di TikTok. Psikolog Unpad soroti krisis moral, norma sosial, dan urgensi regulasi ruang publik di era digital.

SURAT KABAR – Publik Kota Bandung digegerkan oleh sebuah video viral berdurasi 14 detik yang memperlihatkan seorang pria berkostum wanita berjoget di perempatan Jalan Cibaduyut. Video tersebut bukan hanya mengundang tawa, tetapi juga menimbulkan keprihatinan. 

Pasalnya, aksi tersebut berinteraksi dengan orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ) yang tengah duduk termenung di pembatas jalan lampu merah, hingga memicu perdebatan di jagat maya.

Video yang diunggah akun TikTok @tuanelvano pada Jumat (8/8) itu diberi judul “ODGJ bertemu orang waras” dan langsung menuai respons masif. Hingga saat ini, video tersebut telah disukai lebih dari 96 ribu pengguna, mendapat 4 ribu komentar, dan dibagikan lebih dari 29 ribu kali. 

Namun, sorotan warganet bukan semata pada aksi joget itu sendiri, melainkan pada fenomena “ngemis online” melalui live streaming TikTok yang dinilai menyimpang dari norma sosial.

Banyak pengguna media sosial menilai sang pria sejatinya sehat dan tidak layak mengemis, meski ia berdalih joget di jalan demi memperoleh saweran. Kritik warganet pun menguat, menyoroti bagaimana fenomena ini mengaburkan batas antara hiburan, kebutuhan ekonomi, dan eksploitasi publik.

Psikolog sekaligus Dosen Psikologi Sosial Universitas Padjadjaran, Hammad Zahid Muharram, M.Psi., menilai fenomena ini mencerminkan kompleksitas norma sosial di masyarakat digital. 

Menurutnya, perilaku “joget untuk saweran” tidak lepas dari dinamika norma injungtif yang datang dari tekanan penonton untuk menolong dan norma deskriptif di mana orang cenderung mengikuti tindakan donasi yang dilakukan orang lain.

“Nah ini berhubungan sama norma. Kalau secara sosial ada yang disebut norma injungtif sama norma deskriptif. Norma injungtif itu datangnya dari penonton biasanya. Karena sebagai penonton kita tuh harusnya nolong kalau ada yang membutuhkan. Terus kalau norma deskriptifnya, ketika ada orang lain yang donasi, saya merasa harus ikut juga,” ujar Zahid.

Menurutnya, perilaku tersebut akhirnya dimanfaatkan dengan memunculkan rasa iba publik. Banyak yang awalnya menolong, hingga memberi gift atau saweran, namun kemudian dijadikan strategi bertahan hidup. 

Dalam analisis psikologi, hal ini masuk dalam konsep moral disengagement yakni melepaskan tanggung jawab moral atas suatu tindakan karena dianggap tidak merugikan orang lain.

“Joget-joget yang tidak jelas, bahkan berperilaku lebih dari orang gila, secara normatif itu salah. Tetapi pelaku menganggap dirinya tidak merugikan siapa pun. Ia menilai itu sekadar hiburan agar orang lain bisa menikmatinya, sehingga aspek moral diletakkan di luar dirinya,” jelas Zahid.

Lebih jauh, Zahid menilai hadirnya internet melahirkan dualisme moral. Aktivitas di dunia maya sering kali tidak memiliki relevansi langsung dengan kehidupan nyata. Hal ini membuat seseorang lebih mudah berperilaku menyimpang karena merasa aman dalam ruang digital.

“Internet itu membuat kita punya dualisme moral. Apa yang dilakukan di dunia maya bisa berbeda dengan di dunia nyata. Orang bisa bebas berkomentar, menghina, atau menertawakan tanpa mempertimbangkan dampaknya. Inilah yang memicu bias standar moral dalam masyarakat digital,” katanya.

Ia menekankan bahwa fenomena ini bukan sekadar soal hiburan, tetapi juga menyentuh ranah sosial, tata kota, dan regulasi. Jika dilakukan di ruang privat, fenomena joget tersebut mungkin tidak menjadi masalah. 

Namun, ketika dilakukan di ruang publik seperti perempatan jalan, ia menyentuh aspek kenyamanan bersama dan berpotensi merusak estetika kota.

“Memang meresahkan, karena di Kota Bandung yang indah ini tiba-tiba ada sosok orang tersebut joget di lampu merah. Ini perlu ditangani secara sosial. Namun sebelum itu, kita harus memahami dulu standar moral masyarakat terhadap fenomena ini. Kalau dilihat dari aspek tata kota, maka ini masuk ranah pemerintahan. Regulasi harus dibuat agar tidak ada lagi fenomena serupa di ruang publik,” pungkas Zahid.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana perkembangan teknologi dan ekonomi digital mampu mengaburkan batas moral serta norma sosial di masyarakat. 

Urgensinya kini terletak pada bagaimana pemerintah, masyarakat, dan platform digital menata kembali ruang publik agar tidak tercemar oleh perilaku-perilaku yang mereduksi nilai sosial hanya demi popularitas dan keuntungan instan. (SAT)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar