SURAT KABAR, CIMAHI – Di tengah gempuran modernitas dan pola makan instan, masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Cimahi Selatan, tetap kukuh memegang warisan leluhur: mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok. Namun, tak banyak yang tahu, pangan lokal berbentuk nasi dari singkong yang selama ini dikenal sebagai rasi, sejatinya bukanlah nama asli.
"Nama aslinya itu sangun. Kalau sudah dimasak, namanya
jadi sangun sampe. Sangun adalah bahan dasar nasi singkong," ujar Jajat,
tokoh masyarakat Kampung Adat Cireundeu, saat ditemui belum lama ini.
Menurut Jajat, istilah rasi baru dikenal setelah wilayah
adat mereka dijadikan percontohan dalam program ketahanan pangan nasional.
Meski demikian, semangat yang menghidupi konsumsi sangun ini jauh melampaui
program semata. Bagi warga Cireundeu, makan singkong adalah bentuk konkret
pelestarian nilai-nilai leluhur sekaligus cara menjaga kelestarian lingkungan.
"Kami diamanatkan untuk menjaga alam. Kalau tidak
dijaga, tempat ini akan penuh tangtungan," katanya.
Istilah tangtungan dalam bahasa Sunda, dijelaskan Jajat,
berarti dua hal: keramaian dan berdirinya bangunan. Ia menilai perubahan fungsi
lahan menjadi perumahan, pabrik, atau pusat perbelanjaan adalah manifestasi
nyata dari tangtungan yang menjadi kekhawatiran para leluhur.
Lebih dari sekadar simbol adat, konsumsi singkong di
Cireundeu berakar pada peristiwa sejarah. Saat masa penjajahan Belanda, beras
menjadi komoditas langka karena dikuasai penjajah. Sebagai bentuk perlawanan,
Mama Ali, salah satu tokoh sepuh mengajak warga beralih ke pangan lokal.
"Pada tahun 1918, masyarakat Cireundeu sepakat
melakukan Nunda Kersaning Nyai, atau dalam bahasa Indonesia: berhenti makan
nasi beras," kata Jajat.
Transformasi itu mencapai titik penting pada 1924, ketika
Ibu Omah Asnama, menantu Mama Ali, menemukan cara mengolah singkong menjadi rasi.
Tak hanya berperan dalam dapur, Omah Asnama dianggap memiliki visi politik dan
budaya yang kuat.
"Ibu Omah sendiri bahkan sempat ditahan Belanda karena
dianggap berbahaya. Aktivitasnya mengajak warga mengganti beras dengan singkong
selalu diselipi semangat kemerdekaan," imbuh Jajat.
Kini, rasi bukan hanya bertahan, tapi juga berkembang. Sejak
2010, berkat kolaborasi dengan mahasiswa Teknologi Pangan Universitas
Padjadjaran (Unpad), masyarakat Cireundeu menciptakan lebih dari 10 produk
olahan turunan dari singkong.
“Kita buat kue semprong, kue kering, bahkan sekarang sudah
ada mi dari tepung rasi,” ucap Jajat.
Produk-produk olahan tersebut dikembangkan melalui UMKM
lokal dan mulai diperkenalkan ke pasar yang lebih luas, terutama lewat kanal
online oleh generasi muda Cireundeu.
Meski sempat mencoba menjual produk-produk tersebut ke
kawasan luar, seperti Dago dan Kebun Binatang Bandung, respons pasar belum
menggembirakan. Strategi pun diubah: kembali fokus pada penjualan di wilayah
sendiri.
“Pengunjung ke Cireundeu bisa mencapai 1.000 hingga 1.500
orang setiap bulannya. Dan ini cukup untuk menopang penjualan,” pungkasnya.
(SAT)
0 Komentar