SURAT KABAR - Dalam hidup yang bergerak cepat dan kerap tak kenal jeda, stres sering kali hadir sebagai reaksi wajar atas tekanan. Namun, ketika ia menetap terlalu lama, stres dapat merayap diam-diam, menggerogoti ketahanan tubuh dan jiwa.
Mengutip Halodoc, stres tidak selalu menjadi musuh. Ia bisa memberi dorongan saat menghadapi tantangan. Namun, jika berlangsung terus-menerus, stres berubah menjadi beban yang mengganggu keseimbangan hidup.
Situasi tak terduga, kehilangan kendali, atau pengalaman baru yang menantang bisa menyalakan alarm stres. Sayangnya, tak semua orang mampu memadamkan sinyal bahaya itu dengan cara yang sama.
Di sinilah peran profesional kesehatan mental menjadi penting menjadi penuntun untuk mengelola tekanan yang mengancam ketenangan jiwa.
Kecemasan yang Membayangi
Merasa cemas adalah bagian dari menjadi manusia. Tetapi bila kecemasan itu berlipat ganda hingga mengganggu rutinitas, alarm harus dibunyikan.
Detak jantung melonjak, telapak tangan berkeringat, perut melilit, hingga otot-otot yang menegang tanpa sebab. Tubuh tak lagi jadi sekutu, melainkan medan perang melawan rasa waswas yang tak kunjung reda.
Menghindar dari situasi sosial atau pekerjaan menjadi jalan pintas yang ditempuh. Namun ini justru memperdalam jurang. Ketika gejala kian mengganggu, bantuan dari psikolog atau psikiater bisa membuka jalan untuk memahami dan menjinakkan kecemasan.
Ketika Dunia Terasa Suram
Tak semua kesedihan adalah depresi. Tapi ketika hari-hari dijalani dengan rasa hampa, dan gairah hidup menguap tanpa alasan, bisa jadi seseorang tengah bertarung dengan depresi.
Depresi tak selalu datang dengan tangis. Kadang ia muncul dalam bentuk kelelahan yang tak masuk akal, kehilangan minat, atau rasa putus asa yang perlahan menggerus semangat. Dalam kondisi ini, seseorang bisa tetap tersenyum di luar, namun hancur di dalam.
Bila dibiarkan, depresi bisa menyeret seseorang pada perilaku menyakiti diri, bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup. Konsultasi dengan profesional bisa menguak penyebabnya dan menentukan langkah terapi yang sesuai apakah ringan, sedang, atau berat.
Luka yang Tak Tampak
Ada luka yang tak berdarah, namun membekas dalam. Trauma, terutama yang berakar sejak masa kecil, bisa menetap dalam memori dan tubuh hingga dewasa.
Emosi meledak tanpa sebab, ingatan tentang peristiwa menyakitkan yang terus menghantui, hingga mati rasa terhadap dunia sekitar semuanya bisa menjadi pertanda.
Pemulihan dari trauma bukan tentang ‘melupakan’, tetapi tentang berdamai dengan masa lalu. Psikolog bisa membantu memetakan luka-luka itu, dan secara perlahan membimbing pada pemulihan yang utuh.
Ruang Aman untuk Meraba Perasaan
Masalah keluarga, pasangan, hingga lingkar pertemanan tak jarang menjadi sumber luka emosional. Tidak semua hubungan berjalan mulus. Bahkan, relasi terdekat bisa menjadi medan yang penuh luka dan salah paham.
Di sinilah pentingnya ruang aman untuk berbicara. Konseling bisa menjadi cara untuk memahami pola-pola emosi, menata ulang dinamika hubungan, dan mengurai benang kusut yang membelenggu.
Ketika Emosi Meledak-Meledak
Perubahan suasana hati adalah hal yang lumrah. Namun bila emosi melompat dari satu ekstrem ke ekstrem lain tanpa pemicu jelas, ini patut diwaspadai. Marah, senang, kesal, lalu menangis bergantian dalam satu hari bisa menandakan gangguan mood yang lebih serius.
Mood swing yang tak terkendali dapat mengganggu hubungan sosial, pekerjaan, bahkan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan. Dalam kondisi seperti ini, ahli kesehatan mental bisa membantu meregulasi emosi dan mencari akar dari ketidakseimbangan itu.
Kesehatan mental bukan soal lemah atau kuat. Ia tentang mengenali, menerima, dan merawat diri. Mencari bantuan bukanlah tanda kalah melainkan bentuk keberanian untuk menyelamatkan diri sendiri. Karena pada akhirnya, jiwa yang damai adalah landasan bagi hidup yang utuh. (SAT)
0 Komentar