Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran para orang tua terkait higienitas bahan dan proses pengolahan makanan tersebut.
Keluhan pertama datang dari MR (17), siswa SMAN 3 Cimahi. Ia menilai rasa sayuran yang disajikan dalam menu MBG beberapa waktu terakhir terasa asam sehingga banyak siswa enggan menghabiskannya.
“Kalau makanannya agak asem, kaya sayurnya. Makanya teman-teman banyak yang tidak dihabiskan,” ungkap MR saat ditemui usai sekolah, Senin (22/9/2025).
MR juga menambahkan, beberapa menu kerap diganti dengan kentang sebagai pengganti nasi. Namun, kentang tersebut menurutnya tidak segar dan terasa seperti baru keluar dari freezer.
“Pernah nasi diganti pakai kentang, cuman agak dingin kaya abis dari kulkas,” keluhnya.
Senada, PNF (17), siswa lain di Cimahi, mengaku sempat mengalami sakit perut setelah mengonsumsi menu MBG. Ia menduga makanan yang disajikan kurang segar sejak dikirim ke sekolah.
“Emang waktu makan itu agak bau asem gitu (sayur). Gak lama abis makan, tiba-tiba sakit perut. Kayanya memang makanannya agak kurang fresh,” jelas PNF.
Keluhan siswa ini turut menjadi perhatian orang tua. LP (49), seorang guru sekaligus orang tua siswa, yang beralamatkan rumahnya di Kelurahan Cibabat Kecamatan Cimahi Utara, mengaku khawatir terhadap higienitas bahan makanan dan proses memasak di dapur penyedia MBG atau satuan pelayanan penyelenggara gizi (SPPG).
“Sebagai orang tua memang khawatir, karena tidak tahu bahan yang dipakai higienis atau tidak. Alat yang dipakai higienis atau tidak, lalu proses masaknya juga. Kita tidak tahu SOP di dapur lain apakah jelas atau tidak,” ucapnya.
Ia menjelaskan, meski setiap SPPG memiliki ahli gizi, proses masak skala besar sering kali menimbulkan masalah kualitas.
Dalam kunjungannya ke salah satu dapur, ia mendapati sayur pakcoy sudah terasa asam karena dimasak sejak pukul 03.00 dini hari untuk memenuhi kebutuhan 4.000 hingga 5.000 porsi makanan.
“Masak dari jam 2 atau 3 pagi, dikirim ke sekolah jam 8, ada juga yang jam 10 atau 11. Setelah masak lalu dipacking, itu memerlukan waktu lama. Saat itulah mungkin terjadi proses kimiawi yang membuat makanan terasa asem,” jelasnya.
Meski anaknya mengaku sebagian besar menu cukup enak, ia menyoroti beberapa kasus makanan yang tidak matang sempurna, seperti kentang yang masih keras.
Ia juga menegaskan pentingnya sekolah melakukan pengawasan langsung ke dapur penyedia MBG.
“Pihak sekolah seharusnya secara reguler visit ke dapur. Di sekolah saya mengajar, saya sudah tiga kali visit. Itu wajib dilakukan agar kualitas makanan terjaga,” ujarnya.
Lebih lanjut, LP menyoroti pemilihan menu yang berpotensi mempercepat pembusukan, khususnya buah potong dan ikan.
“Buah seperti semangka atau melon sebaiknya dihindari karena cepat basi. Lebih aman lengkeng, anggur, pisang, atau jeruk. Kalau ikan itu cenderung risiko keracunannya cukup tinggi,” bebernya.
Ia juga menilai, standar higienitas tenaga kerja di dapur MBG perlu dipertanyakan.
Menurutnya, berbeda dengan standar dapur hotel yang mewajibkan tes kesehatan berkala, belum jelas apakah pegawai penyedia MBG juga menjalani pemeriksaan serupa.
“Kita kan tidak tahu orang-orang yang masak seperti apa. Kalau di perhotelan ada tes kesehatan, di MBG atau SPPG kita tidak tahu apakah pegawai dites atau tidak,” tandasnya.
Keluhan siswa dan orang tua ini memperlihatkan adanya celah dalam pengawasan kualitas makanan bergizi gratis di Cimahi.
Dengan jumlah ribuan porsi yang harus dipenuhi setiap hari, tantangan menjaga kesegaran dan higienitas makanan semakin besar. (SAT)
0 Komentar