SURAT KABAR, CIMAHI – Pemerintah Kota Cimahi tengah mempersiapkan program besar bertajuk “100 Kalender”, sebuah platform strategis yang digadang-gadang akan menjadi episentrum kegiatan seni, budaya, olahraga, hingga kepemudaan.
Program ini diharapkan menjadi alat revitalisasi wajah Cimahi sebagai kota kreatif yang plural dan dinamis.
Sekretaris Komisi III DPRD Kota Cimahi, Barkah Setiawan, menyebut “100 Kalender” bukan sekadar rangkaian agenda seremonial tahunan.
Lebih jauh, ia menyebutnya sebagai instrumen strategis untuk menata ulang ruang publik sekaligus membangun ekosistem kebudayaan yang sehat dan berkelanjutan.
“Sudah saya diskusikan langsung dengan Pak Wakil Wali Kota. Kita bahas soal arah kebijakan budaya yang terangkum dalam program 100 Kalender. Itu sudah pernah saya bicarakan,” ungkap Barkah saat ditemui di Gedung Pemkot Cimahi, Sabtu (24/5/2025).
Ia menegaskan, keberhasilan program ini tak bisa hanya ditopang oleh pemerintah. Peran serta para aktivis budaya lokal, kata dia, menjadi elemen krusial yang tak boleh diabaikan.
Salah satu tokoh yang ia soroti ialah Ce Edoh, pegiat budaya yang dianggap memiliki kontribusi besar bagi Cimahi.
“Insyaallah akan ada skala prioritas buat beliau. Karena program 100 Kalender tidak bisa berdiri sendiri atas nama Pemerintah Kota Cimahi. Harus bekerja sama dengan para aktivis budaya yang ada,” tuturnya.
Namun Barkah tak menampik, masih banyak pekerjaan rumah. Ia menyoroti kurangnya fasilitas seni dan hiburan di Cimahi yang menyebabkan masyarakat lebih memilih mencari alternatif di luar kota, seperti Bandung.
“Kalau kita sudah menyebut Cimahi sebagai kota, ya harus menerima pluralisme. Dan itu termasuk di dalamnya kebutuhan hiburan masyarakat,” katanya.
Barkah menekankan pentingnya membangun tempat hiburan yang sehat dan edukatif.
Ia mencontohkan, saat melakukan peninjauan ke Pasar Antri, ia menemukan fasilitas seperti biliar yang menurutnya bisa menjadi sarana positif bila dikelola dengan benar.
“Saya survei, di sana ada biliar dan lain-lain. Itu salah satu inisiatif pengusaha lokal. Tapi yang penting, bagaimana menjadikan itu berbeda. Tidak jadi tempat yang identik dengan minuman keras, tapi betul-betul jadi ruang olahraga dan seni,” lanjutnya.
Terkait kawasan adat Cireundeu, Barkah mengingatkan agar pembangunan tidak justru menggerus karakter lokal. Ia menyuarakan kekhawatiran soal rencana pembangunan perumahan di sekitar wilayah tersebut.
“Saya setuju, jangan ada perumahan di sana. Kalau ada, saya khawatir karakter budaya Cireundeu jadi luntur. Padahal itu kekhasan Cimahi, baik dari sisi makanan, budaya, maupun sejarahnya. Itu potensi pariwisata luar biasa,” tegasnya.
Dalam diskusi lanjutan bersama Wali Kota dan sejumlah aktivis pemuda, Barkah juga mengungkapkan tengah dilakukan pemetaan ruang-ruang publik yang belum dioptimalkan.
Ia menyebut, ke depan ruang-ruang ini akan difungsikan berdasarkan karakteristik kegiatan masyarakat.
“Pak Wali sedang memetakan tempat-tempat mana yang belum dimaksimalkan. Nantinya, ruang-ruang itu akan diisi oleh aktivitas seni, pemuda, maupun olahraga. Karena banyak potensi yang belum digarap,” jelas Barkah.
Salah satu aset publik yang disoroti adalah Gedung Sangkuriang. Menurut Barkah, diperlukan skema pembagian wilayah berbasis jenis kegiatan agar fungsi fasilitas tidak tumpang tindih.
“Oh ini untuk seni, ini olahraga, ini pemuda. Akan ada pemetaan seperti itu, insyaallah,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya sinergi lintas sektor antara dinas, komunitas, dan stakeholder lain. Ia menilai, sumbangsih masyarakat merupakan elemen vital dalam menghidupkan program 100 Kalender.
“Pemerintah enggak bisa jalan sendiri. Budaya, pemuda, kesenian, semua harus punya porsi kerja masing-masing. Dan insyaallah kita akan kolaborasi dengan para aktivis,” imbuhnya.
Barkah menyebut saat ini pemerintah tengah mempersiapkan infrastruktur pendukung program tersebut secara sistematis.
Ia mencontohkan, HIPMI baru saja menyelesaikan agenda, KNPI dijadwalkan dua bulan ke depan, dan komunitas budaya pun tengah melakukan pembenahan.
“Jadi, selain dari sisi pemerintah, infrastruktur dari komunitas juga harus disiapkan. Semuanya saling melengkapi,” jelasnya.
Ia pun berharap, ke depan tidak ada lagi gesekan atau ego sektoral antar komunitas saat implementasi program berlangsung.
“Harus terstruktur. Aktivis seni budaya pun harus siap secara infrastruktur. Jangan sampai ada adu ‘geulis’, siapa yang lebih dulu. Kita harus sistematis ke depan,” pungkas Barkah. (SAT)
0 Komentar