Sengketa Tanah Desa Mandek, Cihanjuang Tagih Janji Bupati

 

Sengketa Tanah Desa Mandek, Cihanjuang Tagih Janji Bupati

SURAT KABAR, BANDUNG BARAT –
Lebih dari dua dekade sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah) terbit pada 2001, status kepemilikan atas lahan carik seluas sekitar 5 hektare milik Desa Cihanjuang, Kabupaten Bandung Barat, masih belum menemui kejelasan. 

Pemerintah Desa Cihanjuang bersama warganya kini mendesak Bupati Bandung Barat untuk segera mengeluarkan arahan eksekusi agar lahan desa tersebut dapat dikembalikan dan dimanfaatkan sesuai peruntukannya.

Kepala Desa Cihanjuang, Gagan Wirahma menyampaikan, tanah yang disengketakan tersebut berasal dari tanah milik desa induk sebelum pemekaran wilayah menjadi Desa Cihanjuang dan Desa Cihanjuang Rahayu, berdasarkan Peraturan Gubernur pada tahun 1982.

“Setelah pemekaran, tanah carik itu terbagi dua: sekitar 2 hektare lebih untuk Desa Cihanjuang dan 2,9 hektare untuk Desa Cihanjuang Rahayu,” jelas Gagan saat ditemui, Jumat (16/5/25).

Menurutnya, berdasarkan putusan pengadilan yang telah inkrah pada 2001, lahan tersebut ditetapkan sebagai tanah negara yang diperuntukkan bagi kedua desa. 

Namun hingga kini, belum ada tindakan konkret dalam eksekusi putusan tersebut.

“Putusan pengadilan tahun 2001 sudah inkrah, menyatakan tanah itu dikembalikan kepada negara dan menjadi tanah carik milik dua desa. Tapi sampai sekarang belum dieksekusi. Kami menunggu arahan dari Bupati untuk menindaklanjuti,” ujarnya.

Desakan dari masyarakat untuk mengembalikan hak desa terus menguat. Pemerintah Desa Cihanjuang, kata Gagan, berkomitmen menindaklanjuti aspirasi warga dengan langkah hukum yang prosedural.

“Kami hanya memperjuangkan bagian milik Desa Cihanjuang. Tidak mencampuri hak desa lain. Ini murni demi kepentingan masyarakat,” tegasnya.

Namun, sebagian lahan tersebut kini telah dikuasai oleh pihak perorangan yang memegang dokumen legal seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Akta Jual Beli (AJB), yang diduga terbit sebelum keputusan pengadilan tahun 2001.

“Beberapa sertifikat dan AJB memang terbit sebelum ada putusan pengadilan. Dan kami pastikan, bukan dari Desa Cihanjuang yang mengeluarkan. Diduga kuat berasal dari pihak lain karena saat itu secara administratif lokasinya ada di Desa Cihanjuang Rahayu,” ungkap Gagan.

Hingga kini, pihak desa belum mendapatkan data resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai luas lahan yang telah beralih ke tangan perorangan. 

Pemerintah desa meminta BPN membuka data tersebut dan meninjau ulang legalitas dokumen yang ada.

Untuk mempertegas status lahan, Pemerintah Desa Cihanjuang telah memasang empat plang di lokasi sengketa sebagai penanda bahwa tanah tersebut merupakan aset milik desa.

“Itu bagian dari upaya kami mempertegas status tanah tersebut. Agar semua pihak paham, tanah itu adalah aset desa yang sah,” katanya.

Gagan juga mengungkapkan bahwa pendekatan persuasif terus dilakukan terhadap warga yang saat ini menguasai lahan. Ia berharap mediasi bisa segera difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat.

“Kami berharap Pak Bupati bisa segera memberi arahan eksekusi, sekaligus mendorong mediasi dengan warga yang menguasai lahan. Ini masalah besar yang sudah bertahun-tahun belum selesai,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa jika tanah carik tersebut berhasil kembali ke Desa Cihanjuang, pemerintah desa telah merancang pemanfaatan lahan untuk kepentingan masyarakat, termasuk pembangunan sarana olahraga dan fasilitas sosial.

“Kami sudah rencanakan pemanfaatan lahan untuk sarana olahraga dan kegiatan sosial. Di antaranya akan dibangun lapangan futsal, lapangan bulutangkis, fasilitas olahraga lainnya, dan ruang serbaguna yang bisa digunakan oleh warga untuk berbagai acara,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa pemanfaatan lahan itu akan dilakukan sesuai aturan dan menjawab kebutuhan warga.

“Tanah desa itu harus kembali untuk desa, digunakan demi kepentingan umum, bukan pribadi,” katanya.

Lebih jauh, Gagan menilai bahwa pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan ini penting untuk mencegah ketidakpastian hukum yang berlarut-larut dan potensi konflik horizontal di masyarakat.

“Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal keadilan dan kepastian hukum. Jika sudah inkrah, harus dijalankan. Kami hanya ingin hak desa kami dikembalikan, lalu kami kelola untuk kemaslahatan warga,” pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun Pemerintah Desa Cihanjuang Rahayu.

Pemerintah Desa Cihanjuang bersama masyarakat berharap Bupati Bandung Barat segera mengambil langkah tegas dalam menuntaskan persoalan ini. (SAT) 

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar