SURAT KABAR, CIMAHI - Angin perubahan sedang berembus kencang di Jawa Barat. Gubernur telah meneken Surat Edaran Nomor 150/KPG.03/BKD, sebuah uji coba WFH yang masif untuk seluruh ASN Jabar.
Tujuannya mulia, mereduksi biaya operasional hingga 20% selama dua bulan, terhitung November hingga Desember 2025.
Skema yang ditawarkan Pemprov Jabar cukup progresif, sistem hybrid, dimulai dengan WFH setiap hari Kamis di November, dan memuncak pada Desember dengan pembagian 50-50, separuh di kantor, separuh lagi di rumah.
Sebuah lompatan tata kelola yang disambut baik banyak pihak.
Namun, peta kebijakan ini terhenti di batas wilayah Kota Cimahi. Di balik hiruk-pikuk kebijakan WFH Jabar, Wali Kota Cimahi, Ngatiyana, memilih langkah kontroversial.
Ditemui awak media, Ngatiyana dengan nada tegas menyatakan penolakannya. Tak ada kompromi, tak ada pengecualian.
Semua ASN Kota Cimahi diwajibkan tetap bekerja seperti biasa di kantor, mulai dari ujung tombak hingga pucuk pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD Cimahi).
"Tidak, di Kota Cimahi tidak ada WFH," tegas Ngatiyana, menanggapi pertanyaan seputar kebijakan yang sudah bergulir di tingkat provinsi.
Pertanyaan pun mencuat, mengapa Cimahi mengambil jalan yang berbeda? Apakah efisiensi anggaran bukan prioritas? Atau ada pertimbangan lain yang lebih mendasar soal pelayanan publik?
Ngatiyana tak bergeming. Ia kembali menegaskan sikapnya, ASN harus berada di tempat kerja untuk menjalankan tugas secara langsung.
"Tidak ada WFH-WFH, semua harus kerja," ujarnya, menutup pintu diskusi dengan kepastian yang tak terbantahkan.
Keputusan Ngatiyana Tolak WFH ini seolah menempatkan ASN Cimahi pada sebuah pertaruhan, apakah kedisiplinan dan produktivitas hanya bisa dijamin dengan kehadiran fisik di kantor?
Langkah Pemkot Cimahi ini menjadi anomali, sekaligus tantangan terhadap uji coba modernisasi kerja yang dicanangkan Pemprov Jabar.
Di satu sisi, ada optimisme efisiensi dan fleksibilitas. Di sisi lain, ada keyakinan bahwa hadir secara fisik adalah kunci pelayanan prima.
Cimahi memilih jalannya sendiri. Akankah ketegasan ini benar-benar menjamin pelayanan publik yang lebih optimal?
Atau justru mematahkan semangat efisiensi biaya operasional yang sedang gencar diupayakan? (SAT)




Posting Komentar
Posting Komentar