PM Israel Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant Jadi Buronan ICC atas Dugaan Kejahatan Perang

Redaksi
0

 

Netanyahu dan Gallant ICC
Netanyahu dan Gallant menjadi buronan ICC atas dugaan kejahatan di Gaza

SURAT KABAR – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant kini menghadapi status buronan internasional setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap keduanya. 


Langkah ini diambil pada Kamis (21/11/2024), terkait dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik Gaza, Palestina.


Meskipun Israel tidak mengakui yurisdiksi ICC dan Netanyahu maupun Gallant enggan menyerahkan diri, lebih dari 100 negara di dunia berkewajiban menangkap mereka. 


Hal ini didasarkan pada Statuta Roma, perjanjian internasional yang menjadi dasar pembentukan ICC.


Negara-negara dengan Kewajiban Menangkap


Menurut laporan Al Jazeera, sebanyak 124 negara yang telah meratifikasi Statuta Roma secara hukum harus melaksanakan perintah penangkapan ICC. 


Jonathan Kuttab, seorang pengacara hak asasi manusia internasional, menjelaskan bahwa hukum internasional bekerja atas dasar kepatuhan.


“Ketika hukum diberlakukan, semua pihak diharapkan mematuhinya. Mereka yang melanggarnya berarti tidak menghormati hukum itu sendiri,” ujar Kuttab. 


Ia juga menambahkan bahwa banyak sekutu Israel, termasuk negara-negara Uni Eropa, tampaknya tidak akan mengabaikan keputusan ICC ini.


Daftar negara tersebut meliputi berbagai wilayah di dunia, termasuk negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang. 


Negara-negara tersebut terikat untuk menangkap Netanyahu dan Gallant jika mereka memasuki wilayahnya.


Alasan Dikeluarkannya Surat Penangkapan


Mengutip laporan dari Reuters pada Jumat (22/11/2024), para hakim ICC menilai bahwa terdapat cukup bukti untuk menyatakan Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas serangan di Gaza yang dianggap sebagai bagian dari serangan sistematis terhadap penduduk sipil. 


Tuduhan ini mencakup pembunuhan, penganiayaan, penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, hingga blokade yang menyebabkan krisis kemanusiaan.


Blokade yang dilakukan diduga menyebabkan kelangkaan makanan, air, listrik, bahan bakar, serta obat-obatan yang menciptakan kondisi kehidupan tak layak. 


Kondisi ini dilaporkan mengakibatkan kematian banyak warga sipil, termasuk anak-anak, karena kekurangan gizi dan dehidrasi.


Respons Internasional


Meski Amerika Serikat bukan anggota ICC dan menolak mendukung langkah tersebut, sejumlah negara lain yang memiliki komitmen pada Statuta Roma tampaknya serius mempertimbangkan implementasi keputusan ini. 


Langkah ini sekaligus menjadi ujian penting bagi keberlanjutan supremasi hukum internasional dalam menangani kejahatan perang.

Baca Juga

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)